Nationalgeographic.co.id— Lewat tengah hari, roda-roda sepeda motor menuruni punggungan Bukit Bojongpilar, Bodogol. Tajuk-tajuk pohon menaungi perjalanan, sehingga gerimis tak kami rasakan. Hujan semalam membuat beberapa ruas jalan berlumpur ketika iring-iringan kami melintasinya. Kami menuju gerbang untuk keluar dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tepatnya, tujuan kami berada di balik puncak gunung itu.
Hari ini kami melanjutkan pengelanaan. Dari tepian barat taman nasional, kami menyusuri jalan raya tepian Gunung Gede untuk memasuki taman nasional di tepian selatannya, Situgunung. Kendati dua tempat itu dalam peta terpaut garis lurus sekitar 20 kilometer, kami harus menempuh perjalanan melingkar hampir 50 kilometer jauhnya.
Gumpalan-gumpalan awan hitam mulai menggelayuti langit-langit Gunung Gede Pangrango. Tim Kelana Lestari memacu sepeda motor untuk menghindari kemacetan di Jalan Raya Bogor-Sukabumi apabila hujan tiba.
Baca Juga: Kelana Lestari: Perjalanan Muhibah Menuju Kawasan Konservasi
Perjalanan iring-iringan itu terpecah karena lalu lintas yang memadat ketika mendekati pusat kota Sukabumi. Setiap awak Kelana Lestari meliuk-liuk di antara kendaraan lain, mencoba mencari celah. Kami berharap bisa memacu tempo sepeda motor kami supaya tidak kemalamaan saat sampai di Situgunung.
Senja sudah meluntur. Lampu-lampu dan raungan sepeda motor kami membelah jalanan berbalut aspal menuju pintu masuk Situgunung di tepian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. "Motornya tangguh untuk menerjang bebatuan dan lumpur yang ada selama perjalanan,” kata Hasan Kholillurachman, awak Kelana Lestari yang mengendarai KLX-150. “Ketika di jalan beraspal pun tetap nyaman dikendarai"
Asep Suganda, selaku Kepala Resort PTN Situgunung yang juga merangkap sebagai jagawana, menyambut kedatangan Kelana Lestari. Kami minum the bersama sembari duduk-duduk di tangga kantornya. Kabarnya, waktu sore sampai jelang makan malam adalah waktu yang rawan dalam kehidupan manusia. Dan, minuman teh mampu menenteramkannya.
Sinar matahari pagi menembus tajuk pohon-pohon damar yang besar dan menjulang ke angkasa. Kami baru menyadari bahwa Glamping Camp Site, tempat kami bermalam berada di kawasan pohon-pohon damar bekas hutan tanaman industri.
Dua bukit yang dihubungkan jembatan gantung itu masih menyisakan pohon-pohon damar. Asep menerangkan kepada kami, “Setidaknya masih ada 6.700 pohon damar di Situgunung.” Kemudian Asep menambahkan, “Hutan yang sehat memiliki lebih dari tujuh spesies. Di sini, untuk rotan saja ada lima spesies—belum tanaman yang lainnya.”
Setelah tetesan hujan mereda di kawasan konservasi ini, raungan roda dua kami kembali menggema di sepanjang jalan menuju Danau Situgunung. Di sepanjang jalan menuju danau itu kami menjumpai tanaman endemik Puspa (Schimawalichi sp.) dan pohon rasamala (Altingia exelsa).
Danau alam itu berada di balik bukit tempat kami bermalam. Saat menuruni lembah, tim Kelana Lestari harus lebih waspada sepanjang jalan. Selain memiliki kelokan tajam, selepas hujan jalanan licin.
Sesuai namanya, Situgunung adalah danau yang berada di gunung. Lokasinya terimpit perbukitan. Apabila kita mengecek ketinggian tempat ini dengan gawai, layarnya akan menampilkan angka sekitar 1.100 meter. Danau seluas 3,5 hektare ini menghasilkan mata air sendiri. Menurut Asep, setidaknya terdapat 29 individu lutung budeng yang menghuni tepian danau ini.
Baca Juga: Kelana Lestari: Perjalanan Dua Roda Demi Memata-matai Pesinden Rimba
Iring-iringan kami mendekati tepian danau. Suasana danau ini sepi, semenjak mitra taman nasional menutup bisnis penginapannya. Hanya ada satu warung kopi yang menjajakan juga kudapan dam mi instan. Pelanggannya pun satu, seorang misterius yang berbusana serba hitam dengan ikat kepala dan sarung warna biru. Namanya, Kang Dadin, yang ternyata seorang budayawan setempat.
“Konon kabarnya,” kata Kang Dadin membuka cerita, salah seorang keluarga dari Kerajaan Mataram sedang berjalan ke arah Banten.” Nama ningrat itu adalah Raden Rangga Sahadana, yang tengah dikejar-kejar kompeni dari Mataram menuju Banten. Dia membawa seorang istri yang sedang mengandung. Kemudian, mereka singgah di daerah ini untuk beristirahat. “Dia punya nazar, kalau anak yang dilahirkannya lelaki, akan dibikin sebuah danau.”
Kang Dadin melanjutkan, “Singkat cerita, bayi yang lahir itu laki-laki. Dikasih nama Raden Rangga Jagad Lulunta, yang kelak dikenal sebagai Mbah Jalun di sini. Danau ini sebenarnya hasil kerja ayahnya.”
Kami mencoba untuk memaknai dan menghargai kawasan ini seperti warga setempat memuliakannya. Karena perjalanan bagi kami adalah sebuah pembelajaran, bukan sekadar pindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Kami berharap, kami mendapatkan sepasang mata yang baru untuk memahami ragam kehidupan, ketika kembali dari sini.
“Setiap perjalanan pasti ada pembelajaran, hikmah intropeksi diri bisa melalui cara apapun,” ujar Benardi Mardatu, salah satu awak Kelana Letari. Selama perjalanan ini dia belajar hidup bersama kawan-kawan seperjalanan yang pencinta bumi.
“Kami mencari informasi tentang flora dan fauna yang mulai langka, menikmati alam dengan cara yang sederhana, bekerja dengan hati, diselingi ketawa-ketiwi dengan tubuh berkeringat, tanpa mengubah suasana yang hangat,” imbuhnya. Lalu dia dengan bangga mengungkapkan, “Begitulah Kelana Lestari dan National Geographic Indonesia On Assignment.”
National Geographic Indonesia On Assignment (NGIOA) menggelar perjalanan bersepeda motor ke tepian Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Program ini bertajuk Kelana Lestari yang bergulir 14-16 Maret silam. Tujuan utamanya menyinggahi dan menyigi kawasan konservasi, sekaligus membangun kedekatan dengan warga dalam upaya pelestarian lingkungan.
Kelana Lestari, bagian dari perayaan 15 tahun kehadiran National Geographic Indonesia di Nusantara. Program ini didukung oleh Kawasaki dan sebagian didanai oleh keanggotaan Anda sebagai pelanggan majalah National Geographic Indonesia.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR