Kebetulan, pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, banyak pendatang asal Tiongkok didatangkan untuk memenuhi kebutuhan perkebunan-perkebunan milik orang Eropa, umumnya di pantai timur Sumatra. Ketika Politik Etis digembar-gemborkan, sentimen rasialisme anti-Cina justru memuncak. Pasalnya, para penganjur politik balas budi itu terselimuti stigma bahwa orang Cina identik dengan keserakahan. Orang-orang Eropa yang mendukung Politik Etis memiliki pemikiran untuk memberikan perlindungan kepada bumi putra.
"Orang Cina pada zaman itu xenofobia sama orang Eropa, dan sebaliknya," kata Agni Malagina, peneliti budaya Cina. "Dan pada masa itu terjadi banyak hal yang menginterupsi seperti masalah politik, persamaan hak, dan lain-lain." Orang-orang Cina memiliki kekuatan dalam ekonomi dan pers. Sementara itu orang Belanda selalu cari cara menjatuhkan karena mereka takut sama dominasi Cina, demikian hemat Agni.
Pemerintah Hindia Belanda tidak mau mengakui bahwa Jawa kekurangan beras sehingga perlu impor. Padahal, pada kenyataannya pasokan beras di Jawa memang menyusut. Selain paceklik pada tahun-tahun sebelumnya, kata Syefri, meluasnya perkebunan swasta telah menggeser tanah milik rakyat. Awalnya tanah itu ditanami padi, berubah menjadi tanaman perkebunan. Akibatnya, sawah yang mencetak padi-padi itu pun menyusut.
Baca Juga: John Verbeek Menyingkap Coretan dan Bungker Militer Belanda di Cisauk
Hari ini kita menjumpai respons yang mirip ketika pagebluk COVID-19 berjangkit dari Tiongkok ke Indonesia, dan sederet negara-negara maju. Ada perlakuan tidak menyenangkan yang ditujukan kepada orang-orang Cina di beberapa negara hanya karena virus bermula dari salah satu provinsi di Tiongkok. Seorang kawan bercerita, tukang sayurnya sampai menjaga jarak dengan orang-orang Tionghoa hanya karena virus berasal dari Tiongkok. Untungnya, kesalahpahaman ini segera mereda.
Namun, fenomena xenofobia masih terasa ketika awal pagebluk ini di Indonesia. Tagar #TolakSementaraTurisChina melayang-layang di linimasa Twitter, yang disertai ujaran ketidaksenangan. Pada akhir Januari silam, warga Bukittinggi-Agam menolak kedatangan seratusan pelancong asal Tiongkok yang tengah singgah di Sumatra Barat. Mereka membentangkan spanduk penolakan di depan hotel tempat para pelancong asal Tiongkok itu bermalam. Beberapa hari kemudian terjadi penolakan warga Natuna atas kedatangan warga negera Indonesia yang dievakuasi dari Wuhan. Warga Natuna menolak daerahnya menjadi tempat karantina. Kendati diawali dengan baku hantam, toh pada akhirnya mereka berdamai saat pendatang itu berpamitan pulang.
Baca Juga: Tan Pek Hau 'Sang Kungfu Master' Legendaris Asal Kabupaten Tegal
Berita hoaks pun berseliweran di grup-grup aplikasi kirim pesan. Pada awal Februari, Kementerian Komunikasi dan Informatika sempat menepis berita-berita dusta yang beredar di media sosial seperti: HP Xiaomi buatan Tiongkok dapat menularkan virus Corona, virus Corona sengaja disebarkan rezim Tiongkok untuk membasmi umat Islam di Wuhan, wudhu bisa hancurkan virus Corona, dan masih sekitar empat lusin hoaks lainnya.
Rasialisme tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai penjuru Bumi. Orang-orang Cina telah dilabeli oleh penduduk di berbagai negara sebagai pembawa virus corona. Bahkan, di negara berperadaban maju seperti Jerman, ada saja dokter yang sampai menolak memeriksa pasien asal Tiongkok. Selama pagebluk, Komisi HAM Australia telah menerima banyak laporan resmi diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada komunitas Asia di negeri itu. Ini secuil contoh yang terjadi di luar Indonesia.
Baca selengkapnya di artikel "Gelombang Diskriminasi dan Rasisme yang Muncul Akibat Hoaks Corona", https://tirto.id/ewFs
Baca selengkapnya di artikel "Gelombang Diskriminasi dan Rasisme yang Muncul Akibat Hoaks Corona", https://tirto.id/ew
Rasialisme adalah bencana kemanusiaan. Apabila kita tidak memahami peristiwa bencana kemanusiaan pada masa silam, barangkali peristiwa itu akan menghajar kita kembali pada lain kesempatan. Ketika bencana itu terjadi berulang, akankah kita masih menyebutnya sebagai tragedi atau sebuah lelucon belaka?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR