Di dalam kubah itu masih bekerja dengan setia mesin jam lonceng bermerk “Nederlandschefabriek Torenuurwerken B. Eijsbouts – Asten”. Lonceng menara itu buatan pabrik sohor Bonaventura Eijsbouts di Kota Asten, Belanda, dan baru dipasang pada 1920.
Sedikit tentang sejarah sohornya Bonaventura Eijsbouts. Awalnya Bonaventura merupakan pembuat jam tangan. Namun sejak 1872 dia memulai pabrik pembuatan jam menara di bengkel sederhana di belakang rumahnya.
Berkat kualitas yang baik dan ketepatan jamnya, banyak pengelola gedung yang memesan kepadanya. Hingga hari ini, Eijsbouts menjadi penanda Kota Asten dengan museum loncengnya.
Di sebuah sudut gedung kantor AVROS, terdapat ruang arsip daktiloskopi dengan ratusan laci-laci kecil berisi ratusan ribu berkas sidik jari kuli kontrak!
Dalam ruangan sumpek diapit deretan rak tua dan diterangi cahaya temaram itu saya membuka salah satu laci dan memeriksa satu lembar berkas tua. Kertas yang sudah melapuk itu berkop “Dactyloscopisch Bureau der DPV en AVROS” tertanggal 7 November 1948. Berkas tersebut berisi data diri dan sidik jari-jari tangan kanan dan kiri milik “Martodikromo alias Jakir”. Dia merupakan kuli salah satu perkebunan karet di Medan.
Sidik jari para kuli perkebunan diperlukan dalam kontrak lantaran mereka buta huruf. Sidik jari menjadi “jaminan” supaya para kuli tidak mudah berpindah ke perkebunan lain lantaran upah yang menarik. Juga, menghindari perusahaan perkebunan yang mencoba mencari kuli dari perkebunan lain. Apabila para kuli terbukti melarikan diri dan berpindah ke perusahaan perkebunan lain, mereka akan mendapat siksa—diluar batas kemanusiaan.
Baca Juga: Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda
Pada awal abad ke-20, tak jarang kuli disekap tanpa makan minum, dicambuk, sampai diseret kuda dengan tangan terikat.
Banyak juga yang disiksa dan dipukuli dengan daun jelatang lalu disiram air sehingga seluruh tubuh membengkak, hingga ditusuk bagian bawah kukunya dengan pecahan bambu. Itu semua belum cukup memuaskan tuan kebun. Bahkan, bagi kuli perempuan hukumannya tak terperi: kemaluannya digosok dengan merica halus.
Saya mengira sistem sidik jari untuk para kuli hanya dipakai masa kolonial. Ternyata saya salah. Seorang karyawati sepuh—tampaknya ahli daktiloskopi— bekerja dengan tumpukan arsip di sebuah meja besar tinggalan Hindia Belanda. Dia sedang menggeser lensa pembesar untuk memeriksa sidik jari kuli-kuli perkebunan.
Sambil bekerja dia tersenyum dan berujar kepada saya yang mengamatinya dengan keheranan, “Kami masih menggunakan sistem sidik jari ini untuk para karyawan perkebunan sini.”
[Artikel ini pernah diunggah pada Agustus 2013. Kami memperbaiki dan menayangkannya ulang.]
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR