Kakeknya tidak membuat batik, namun memiliki usaha membuat kain blanko merah yang dikirim ke Solo untuk pembuatan batik tiga negeri Solo. Eka ‘baru’ membatik pada tahun 2016. Sesungguhnya, ketertarikannya pada batik telah muncul sejak tahun 2004.
Pada 2015, Eka ‘terpaksa’ pulang setelah sang ibunda jatuh dan membutuhkan Eka untuk merawatnya. Eka pun pulang kampung setelah lebih dari 30 tahun ‘pergi’ melanjutkan sekolah dan bekerja di Semarang. Ia menceritakan bahwa setelah sang kakek meninggal pada tahun 1958, usaha batik tersebut dilanjutkan oleh kakak dari ibunda Eka hingga tahun 1977. Sejak itu, tak ada lagi kegiatan membatik di rumah khas langgam Cina Hindia.
Usahanya mendirikan usaha batik didukung oleh beberapa sahabatnya seperti Supomo (Batik Mawar) dan Santoso Hartono (Batik Pusaka Beruang). Eka tak segan berdiskusi dengan pelaku batik lainnya seperti Renny Priscilla (Batik Maranatha Ong’s Art) dan Henry (Batik Padi Boeloe) dan lainnya. Eka memulai usahanya dengan 3 orang pembatik senior—Lasmirah, Parsini, Sukarni. Awalnya ia banyak membuat batik tulis Lasem dengan warna-warna moderen, namun saat ini ia mulai menekuni jenis batik tiga negeri untuk menjadi lini batik utamanya.
Eka dan timnya banyak bereksperimen dengan motif padu padan seperti latohan, kricakan, gunung ringgit, sekar jagat, agar pembeli senang dengan variasi motif. Tak jarang ia membuat motif-motif yang diambil dari ragam hias flora fauna di rumahnya, seperti lukisan di kaca, ukiran furnitur, dan lis atap rumahnya. Hal ini merupakan langkah kreatifnya untuk menambah khasanah motif batik Lasem dengan menggunakan motif rumah lawasnya, ia berpendapat hal itu sekaligus dapat melestarikan motif-motif yang menempel di rumah berusia seratusan tahun lebih peninggalan nenek moyangnya.
Baca Juga: Breaking News: Temuan Harta Karun Koin Cina Abad Ketujuh di Lasem
Pagebluk corona telah memaksanya beradaptasi dengan keadaan yang cukup sulit. Tidak ada tamu atau wisatawan yang datang ke Lasem, penurunan daya beli masyarakat, berkurangnya pasokan pewarna sebagai akibat pewarna batik asal Cina yang belum dapat bongkar muat di pelabuhan Indonesia. Dampaknya, tidak ada perputaran uang yang signifikan untuk membiayai produksi batiknya termasuk menggaji para pembatiknya.
“Kalau tidak ada pemasukan, bagaimana bisa membayar uang harian para pembatik? Sudah banyak perusahaan batik merumahkan pembatiknya. Ada pun yang masih beroperasi tentunya dengan berbagai cara, mengurangi jumlah pembatik di dalam rumah atau mengurangi hari kerja. Pembatik saya sempat sedih karena tidak akan punya bekal untuk Lebaran,”ujar Eka.
“Kawan-kawan pengusaha batik berjuang juga. Pembatik-pembatik yang dirumahkan sekarang banyak mencari pekerjaan dengan datang ke perusahaan-perusahaan batik yang masih buka. Tapi ya bagaimana? Kondisi begini, menerima pegawai baru pun bingung bagaimana cara membayarnya,”ungkap Eka yang kini semakin kreatif membuat aneka pola untuk sajadah batiknya.
Baca Juga: Plesiran ke Juwana Corong Candu Bersejarah di Pantai Utara Jawa Tengah
Pada kesempatan terpisah, Didiet Maulana desainer IKAT Indonesia sekaligus penasehat Yayasan Lasem Heritage ini selalu memberikan bantuan berupa pendampingan dan tak pernah lelah memberikan saran-saran bagi beberapa rumah batik Lasem dan pelaku dunia kreatif di Lasem.
“Ketika batik Lasem kemudian bertransformasi di produk turunan salah satunya adalah sajadah dan mukena, maka ini saat yang tepat untuk meluncurkan produk karena menyesuaikan dengan waktu bulan Ramadan saatnya orang untuk mengirimkan bingkisan untuk orang lain atau mereka ingin pakai,”ungkap Didiet.
“Ini hal yang bagus, karena bisa melihat peluang di era pandemi sekarang, karena untuk survive kita harus selaras dengan apa yang dibutuhkan orang-orang ya,” ujar Didiet yang turut membantu kerja kolaborasi antara Rumah Batik Lumintu dengan para penjahit muda di Lasem.
Baca Juga: Mereka yang Tak Pernah Lelah Mempertahankan Batik Tiga Negeri Lasem
Lebih lanjut ia mengungkapkan, “Prospek perkembangan produk kain batik Lasem ke depannya akan dibuat menjadi produk turunan yang wearable seperti kemeja, atasan, busana untuk wanita, di mana ini memberikan inspirasi dan ide tidak hanya mengaktifkan para pembatik tetapi juga para penjahit rumahan di Lasem.”
“Kita harapkan para pemuda di Lasem dan pengusaha batik ketika melihat sebuah opportunity di mana mereka dibukakan pada suatu platform baru dan diperkenalkan pada market yang lebih besar dan lebih luas diharapkan dukungan ekonomi yang nyata ini bisa membuat mereka melihat ini sebagai potensi dan mereka akan tekun memilih bekerja di dunia ekonomi kreatif di Lasem. Jadi tinggal dan bekerja Lasem bukan pilihan terakhir untuk generasi muda kreatifnya,”pungkas Didiet.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR