Nationalgeographic.co.id - “Sedapkan Manggarai” demikian slogan yang diluncurkan oleh seorang chef sekaligus praktisi kuliner asal Salatiga yang melabuhkan jiwa raganya di Labuan Bajo sejak 2016, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Ia sering dipanggil dengan sebutan Chef Michael, pria yang lahir pada 1970 ini memiliki nama lengkap Michael Irawan Wahyu Agung.
Selama menghuni Labuan Bajo, dia berprinsip harus berguna untuk Labuan Bajo. Perkenalannya dengan kuliner Manggarai Barat hampir genap empat tahun. Kegemarannya mengulik resep masakan membuahkan buku mini resep kuliner Manggarai Barat—seperti nasi kolo, ute lomak, ute posok, tibu ikang, tibu manuk, manuk butuk, ikan butung, latung bombo, rumpu rampe, dan lainnya.
"Kumpulkan resepnya cukup lama, konfirmasi ulang ke Pater Terry, beliau Rektor SVD Labuan Bajo,"ujar Michael menceritakan proses pembuatan buku kumpulan resepnya bersama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Manggarai Barat, Kementerian Parwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia pada tahun 2018.
Baginya, makanan merupakan unsur kebudayaan yang paling mudah digunakan sebagai sarana berkomunikasi, bisa dinikmati dan bisa diceritakan.
“Bagian dari pengalaman mengenal tempat baru,”ujar juru masak professional yang berprinsip bahwa dapur adalah pusat zona nyaman untuk keluarga.
“Kitchen is family sanctuary. Ketika kamu pulang ada masakan mama di sana,”tegasnya sambil menceritakan keinginannya memasak bersama mama-mama di Flores.
“Sedapkan Manggarai namanya. Sekarang kalau kita masuk dapur Manggarai sering temui mama-mama potong ayam dikasi masako. Saya ingin masuk dapur mama-mama dan memasak bersama mereka. Tinggal dan memasak bersama mereka, hidup bersama orang Manggarai asli, ikut ke pasar. Dari situ kita bisa belajar dan menambahkan unsur baru yang cocok untuk dimasukkan dalam elemen masakan. Misal menambah ketumbar,” tambahnya sambil menganalisa karakteristik pertumbuhan bumbu-bumbu di Manggarai Barat yang berkarakter tropical dry forest sehingga bumbu-bumbu aromatik seperti kunyit, jahe, lengkuas (tanaman tropical rain forest) sulit tumbuh di wilayah Manggarai.
Baca Juga: Proses Panjang Pembuatan Moke yang Jadi Simbol Persaudaraan di Flores
“Nanas, akan tumbuh baik di tanah karst (kapur). Percaya deh, mungkin nanas di sini terbaik di Indonesia, paling enak. Alpukat, pisang, bunga pun merah lebih merah. Flores itu karakternya, namun berbeda dengan dengan daerah vulkanik seperti Ruteng ya! Saya ingin mulai masuk ke kampung hutan mendata vegetasi bumbu setempat. Mengenal makanan dan orang Manggarai,” ujar Michael.
“Kenali dulu people, culture, baru nature untuk kenal identitas Labuan Bajo dan Manggarai, dan paling mudah dekat dengan kita adalah food bagian dari culture. Nah ini ada ikatan emosional, bagaimana belajar cara makan orang Manggarai,”ujar Michael.
Dia mengungkapkan perhatiannya pada perkembangan pariwisata di Labuan Bajo sejak ia menetap di wilayah pesisir Manggarai Barat yang ditetapkan sebagai destinasi super prioritas oleh Presiden Joko Widodo pada 2019. Menurutnya, mengenali karakter makanan dan masyarakat suatu daerah sangat menarik dan terkait filosofi.
“Pada dasarnya hubungan makanan dengan karakter masyarakat itu berhubungan erat dengan filosofi. Misalnya makanan orang pesisir yang vibrant. Orang pesisir karakternya mayoritas orang yang egaliter, mudah menerima kebudayaan baru karena buat mereka apapun yang datang layak untuk dicoba, sehingga akhirnya makanan-makanan dari pesisir itu terpengaruh dari beberbagai sumber. Nah karena pesisir sifatnya dinamis, mereka akan cenderung akan makan rasa pedas, asam, asin. Pedas dan asam itu sumber vitamin C. Vitamin C gunanya untuk menyegarkan,”ujarnya.
Dia menambahkan bahwa Manggarai Barat memiliki aneka kuliner khas baik gunung maupun pesisir, baik kuliner denga cita rasa asli maupun kuliner yang merepresentasikan makanan akulturasi dan 'cawan peleburan budaya'.
Baca Juga: Maria Loretha, Sorgum, dan Kisah Pengorbanan Nyawa Tonu Wujo
Lebih lanjut ia menambahkan bahwa masyarakat di pegunungan pun memiliki kecenderungan yang berbeda dengan masyarakat pesisir.
“Setiap daerah memiliki endemik tertentu dan akan mempengarauhi sumber diet mereka. Dataran tinggi tidak aka nada beras, otomatis mereka akan makan pisang atau umbi-umbian. Jadi geografis akan mempengaruhi sumber makanan mereka,” jelas Michael.
“Orang di gunung lebih dekat dengan alam, makanannya tentu akan berupa makanan cenderung hambar, bersifat relaksasi,”ujarnya menambahkan bahwa makanan-makanan khas Manggarai pun memiliki indikasi sustainable pangan dan lingkungan. Keberlanjutan pangan melalui penggunaan bahan-bahan pangan lokal dari kebun langsung terhidang (from farm to table). Ditambah keberlanjutan lingkungan tercermin dari penggunaan kayu ranting di kebun untuk memasak.
“Bicara sustainability orang Barat. Orang Manggarai punya sapo (dapur) itu juga sustainability. Nggak ada dia potong pohon untuk kayu bakar, tapi ambil ranting yang jatuh,” jelas Michael yang pernah mengenyam pendidikan kuliner di Perancis pada 2002. Salah satu kesukaannya adalah meracik minuman sopi (arak tradisional) dengan gula merah dan bahan alami penyegar.
Baca Juga: Gunung Api Purba yang Menuntaskan Dahaga
"Sopi atau tuak untuk masyarakat manggarai ini bukan minuman sembarangan lo. Punya nilai filosofi. Tuak sering digunakan sebagai media komunikasi adat, permintaan maaf, menyampaikan maksud tertentu dan menyambung silaturahmi,"ujar Michael sambil menyuguhkan minuman racikan sopinya yang belakangan ia beri nama Philo-Sopi. Baginya, mencicipi makanan dan minuman tradisional di berbagai daerah merupakan sebuah pengalaman budaya dan rasa.
“Bagi saya tidak ada makanan enak atau tidak enak. Makanan itu adalah preference jadi apa yang kita rekam itu yang kita percaya adalah yang baik. Sehingga yang ada adalah makanan yang kita kenal atau tidak,” jelas Michael yang kini membuka dapur virtual So Bajo sebagai kegiatan merespon pandemi.
Kini ia bergelut dengan pengembangan kuliner Manggarai di daerah yang didaulat sebagai destinasi premium. Ia merespon dengan tegas.
“Pertanian jangan dihancurkan. Karena kebudayaan datangnya (salah satunya) dari pertanian. Jadi kalau mau membangun Labuan Bajo, bangun basis-basis pertanian seperti Ruteng, Lembor, Sanonggoang,”ujar Michael yang kini melirik pengembangan kopi Flores beserta narasinya.
“Kopi sebenarnya bukan kebudayaan di sini, namun kini telah jadi kesepakatan gaya hidup dan kopi Flores menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Labuan Bajo harus punya ikon untuk kuliner dan kopi sebagai identitas. Ayolah sedapkan Manggarai,”pungkasnya.
Kita akan berbincang dari sejumput beras rani, sebungkus nasi kolo, secangkir kopi, sampai seteguk sopi. Chef Michael pegiat Sedapkan Manggarai dan Wenti Romas pegiat Youth Coffepreneur Manggarai akan #BerbagiCerita tentang warga, filosofi, dan geografi kota mereka melalui aktivitas bersantap dan menyesap.
Rasa adalah pengalaman, sementara bersantap dan menyesap adalah perayaan menjelajahi pengalaman. Mari #BerbagiCerita bersama National Geographic Indonesia, singkap kehidupan geografis Manggarai dari racikan menunya.
Sampai jumpa pada Kamis, 2 Juli 2020 di akun Facebook @NatGeoMagazineID.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR