Dia mengungkapkan perhatiannya pada perkembangan pariwisata di Labuan Bajo sejak ia menetap di wilayah pesisir Manggarai Barat yang ditetapkan sebagai destinasi super prioritas oleh Presiden Joko Widodo pada 2019. Menurutnya, mengenali karakter makanan dan masyarakat suatu daerah sangat menarik dan terkait filosofi.
“Pada dasarnya hubungan makanan dengan karakter masyarakat itu berhubungan erat dengan filosofi. Misalnya makanan orang pesisir yang vibrant. Orang pesisir karakternya mayoritas orang yang egaliter, mudah menerima kebudayaan baru karena buat mereka apapun yang datang layak untuk dicoba, sehingga akhirnya makanan-makanan dari pesisir itu terpengaruh dari beberbagai sumber. Nah karena pesisir sifatnya dinamis, mereka akan cenderung akan makan rasa pedas, asam, asin. Pedas dan asam itu sumber vitamin C. Vitamin C gunanya untuk menyegarkan,”ujarnya.
Dia menambahkan bahwa Manggarai Barat memiliki aneka kuliner khas baik gunung maupun pesisir, baik kuliner denga cita rasa asli maupun kuliner yang merepresentasikan makanan akulturasi dan 'cawan peleburan budaya'.
Baca Juga: Maria Loretha, Sorgum, dan Kisah Pengorbanan Nyawa Tonu Wujo
Lebih lanjut ia menambahkan bahwa masyarakat di pegunungan pun memiliki kecenderungan yang berbeda dengan masyarakat pesisir.
“Setiap daerah memiliki endemik tertentu dan akan mempengarauhi sumber diet mereka. Dataran tinggi tidak aka nada beras, otomatis mereka akan makan pisang atau umbi-umbian. Jadi geografis akan mempengaruhi sumber makanan mereka,” jelas Michael.
“Orang di gunung lebih dekat dengan alam, makanannya tentu akan berupa makanan cenderung hambar, bersifat relaksasi,”ujarnya menambahkan bahwa makanan-makanan khas Manggarai pun memiliki indikasi sustainable pangan dan lingkungan. Keberlanjutan pangan melalui penggunaan bahan-bahan pangan lokal dari kebun langsung terhidang (from farm to table). Ditambah keberlanjutan lingkungan tercermin dari penggunaan kayu ranting di kebun untuk memasak.
“Bicara sustainability orang Barat. Orang Manggarai punya sapo (dapur) itu juga sustainability. Nggak ada dia potong pohon untuk kayu bakar, tapi ambil ranting yang jatuh,” jelas Michael yang pernah mengenyam pendidikan kuliner di Perancis pada 2002. Salah satu kesukaannya adalah meracik minuman sopi (arak tradisional) dengan gula merah dan bahan alami penyegar.
Baca Juga: Gunung Api Purba yang Menuntaskan Dahaga
"Sopi atau tuak untuk masyarakat manggarai ini bukan minuman sembarangan lo. Punya nilai filosofi. Tuak sering digunakan sebagai media komunikasi adat, permintaan maaf, menyampaikan maksud tertentu dan menyambung silaturahmi,"ujar Michael sambil menyuguhkan minuman racikan sopinya yang belakangan ia beri nama Philo-Sopi. Baginya, mencicipi makanan dan minuman tradisional di berbagai daerah merupakan sebuah pengalaman budaya dan rasa.
Penulis | : | Agni Malagina |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR