Nationalgeographic.co.id - Bincang Redaksi 10 terkait edisi majalah National Geographic Indonesia bulan Julan bercerita soal cerita konflik manusia dan takdir semesta di Everest.
Acara bertema "Kuasa Everest: Puncak dunia yang menyimpan cerita konflik manusia dan takdir semesta. Bagaimana kisah di balik pencapaian dan kenahasan pendaki Indonesia yang memuncakinya?" dibuka oleh Managing Editor National Geographic Indonesia, Mahandis Yoanata Thamrin yang menjelaskan materi majalah edisi Juli.
Kisah dibuka dengan gunung-gunung di Nusantara. Mahandis memaparkan sosok Heinrich Zollinger, ahli botani asal Swiss. Dia menjadi peneliti pertama yang berani berjejak di Tambora pada 1847. Artinya, tiga dasawarsa setelah letusan mahadahsyat yang berdampak pada perubahan iklim dunia.
"Setelah 30 tahun Tambora meledus dahsyat, Zolinger adalah orang pertama yang berani ke puncak Tambora. Ia begitu mendeskripsikan bahwa kepulan asapya sampai ke angkasa," tutur Mahandis. Koleksi herbariumnya telah tersebar di berbagai herbarium di Swiss dan Prancis. Namun, koleksi utamanya kini disimpan di Nationaal Herbarium Nederland di Universiteit Leiden dan Utrecht.
Indonesia adalah negeri dalam untaian gunung api. Sederet pendaki kawakan menjadikan gunung laksana guru—sains ancala. Bagi mereka gunung mengajarkan ilmu pendakian, kegunungapian, pengelolaan perjalanan, dan ilmu pelestarian.
Kemudian Mahandis melanjutkan tentang bahasan gunung dan sampah yang tertinggal di Gunung Semeru.
"Kita seharusnya berpikir ulang terkait perilaku kita terhadap gunung. Ini menarik sekali, leluhur kita menyucikan gunung. Dan kita perlu berpikir ulang untuk mengotori gunung. Kenapa tema gunung menarik? Selain sains, isu kelestarian juga bsia berangkat dari wacana gunung api."
Kemudian paparan dilanjutkan oleh Gita Laras Widyaningrum, Web Writer/Journalist National Geographic Indonesia yang menjelaskan soal peringatan dan prediksi para ahli soal virus yang menyebar sangat cepat di masa mendatang.
Baca Juga: Eksperimen Vaksin COVID-19 Pada Manusia Tunjukkan Hasil Awal Positif
Lalu muncul Rahmad Azhar Hutomo, Fotografer National Geographic Indonesia yang menjelaskan cerita foto di majalah tentang situasi Kenya saat menghadapi pagebluk COVID-19. Selain mengutarakan aktivitas di sana, Azhar juga menyimpulkan bahwa situasi Kenya mirip dengan Indonesia. Kemudian, ia juga membahas sedikit soal foto feature di bulan Agustus mendatang soal Jugun Ianfu.
Masuk ke pembahasan Everest, yakni krisis air di Basin Sungai Indus yang dijelaskan oleh Sony Warsono, Editor sekaligus Katografer National Geographic Indonesia.
"Dengan peningkatan suhu saat ini gletser semakin cepat mencair. Aliran air akan meningkat. Namun menurut perkiraan sampai 2050 akan mengancam 270 jiwa. Selain menyusutnya gletser, berkurangnya pasokan air akan memicu peningkatan tensi politik tingkat negara yakni Tiongkok, Pakistan, dan India."
Everest merupakan gunung tertinggi di dunia. Salah satu tempat manusia mengukuhkan diri di puncak. Sama seperti perlombaan lainyam sejak 1920 Everest telah dijejaki oleh tim Andrew Irvine dari Inggris. Pendakianya menyimpan misteri sehingga kisahnya tercatut dalam majalah National Geographic Indonesia edisi Juli sebagai Misteri Besar Everest.
Titania Febrianti, Contributor Editor National Geographic Indonesia menjelaskan bahwa tim Irvine yang melewati jalut timur laut tidak berhasil pulang. Namun, beberapa pendaki saat itu sempat melihat siluet lelaku di atas bebatuan. Sehingga pada 2019 lalu, National Geographic menugaskan Mark dan Renan Ozturk untuk melakukan ekspedisi jasad Irvine.
Kisah pendakian Everest nyatanya juga di capai oleh para mendaki Indonesia. Melalui tajuk Merah Putih di Atap Everest. Journalist National Geographic Indonesia, Fikri Muhammad, menjelaskan berbagai capaian prestasi para pendaki Indonesia. Dengan berbagai rintangan yang dihadapinya, mereka mampu mencapai puncak everest. Walaupun beberapa diantaranya juga gagal menggapainya.
Masuk ke tahap diskusi, Sofyan Arief, pendaki dari ISSEMU yang juga turut hadir dalam diskusi daring mengatakan berbagai cerita aklimatisasi sebelum mencapai puncak Everest. Juga memperlihatkan foto-foto latar pendakian dengan berbagai rintanganya.
"Setelah aklimatisasi, ada rotasi ke tiga. Kita harus ke camp 1 di 6.100 mdpl. Tantanganya yang pertama ice fall. Itu jatuh dari gunung gumpalan salju. Itu kita seperti di labirin, reruntuhan salju berantakan yang sulit dilewati. kita melewati icef all umumnya sebelu jam 2 malam untuk menghindari reruntuhanya," kata Sofyan.
Saat itu Sofyan juga sempat terkena longsoran salju.
"Untungnya nggak kena tepat di kepala saya. Jadi di depan saya baru ngegulung ke arah saya. perasaanya kaya seperti di rel kereta api. Kita berdiri di antara dua kereta dan berdiri diantaranya. Saya rasanya ingin meninggal, pas saya buka mata itu putih semua," ungkapnya.
Setiap tim, menurut Sofyan punya waktu tersendiri untuk mencapai puncak. Mereka mempunyai rahasia tersendiri agar menghindari jalur pendakian tidak ramai. Untuk waktunya, di tentukan oleh stasiun cuaca dan ahli yang menganalisis windows summit. Tim Issemu pun akhirnya berhasil mencapai puncak pada 20 Mei 2011.
Sementara itu, pengalaman lainya juga dialami para pendaki dari WISSEMU, yakni Fransiska Dimitri dan Mathilda Dwi Lestari. Mereka memulai dari Khatmandu (jalur utara) kemudian ke Lhasa menggunakan mobil ke Everest Base Camp di utara.
"Utara jalurnya cenderung lebih pendek dan kebanyakan jalurnya bebatuan dan pasir," ucap Mathilda.
Mathilda melanjutkan ceritanya ketika hendak ke puncak. Setelah sampai di Camp 3 mereka berangkat pukul setengah 12 malam waktu Nepal.
"Agak ngeri juga karena nggak bisa liat apa apa. Cuman bisa percaya ama diri sendiri dan sherpa," katanya.
Tim WISSEMU akhirnya berhasil mencapai puncak pada 17 Mei 2018. Pengalaman tak terlupakan sempat dirasakan oleh pendaki WISSEMU saat melihat mayat di ketika perjalanan turun.
"Aku ngeliat mayat waktu turun. Jadi di sebelah kiri si sherpa saya nunjukin ada jenazah, bentuknya kaya di tutupin entah pake karung ata uapa. Badanya meringkuk pakai pakaian yang sama kaya kita. Dia aja bisa kaya gitu yang badanya lebih besar. Apalagi kita," tuturnya.
Ketika selesai perjalanan puncak, WISSEMU juga sempat mengalami malfungsi oksigen.
"Jadi waktu perjalanan turun ada gosip tetangga itu ada beberapa regulator oksigen yang meledak. Waktu itu bahasanya meledak, tapi sebenernya itu malfungsi. Kebanyakan malfungsi regulator berada di ketinggian yang sama di 8500 di daerah mushroom rock," Tututr Fransiska.
Sebagai pendaki perempuan, WISSEMU juga sempat mengalami menstruasi secara bersamaan. Yang dialami saat itu ialah keram dan pusing. Salah satu obatnya ialah penambah darah, vitamin, dan makan lebih banyak.
Di penghujung acara Titania Febrianti menutup kisah yang disampaikan ISSEMU dan WISSEMU bahwa segala sesuatunya tidak ada yang tidak mungkin. Walaupun dengan berbagai misteri yang di simpan oleh Everest.
Di masa mendatang sains juga akan membantu memprediksi cuaca agar lebih baik dan alam bukanlah ancaman yang besar terhadap manusia. Titania mengutip Hillary yang berkata "saat kitamendaki gunung, bukan kita yang menaklukan gunung tapi kita yang menaklukan diri sendiri."
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR