Nationalgeographic.co.id—Braga begitu semarak setiap Sabtu malam. Pendaran lampu-lampu jalan dan aroma kedai kopi membangkitkan kenangan lama sepanjang seruas marganya.
Cahaya temaram membingkai Didi Kaspi Kasim, fotografer dan penikmat malam, yang sedang berjalan kaki sepanjang Braga. Di seberangnya tampak Arbain Rambey, fotografer senior dan pejalan, sedang mengabadikan sudut-sudut arsitektur Hindia di kawasan ini.
Selama bulan-bulan awal pagebluk, Braga berdenyut lamban. Kedai dan gerai menutup pintu-pintu mereka. Namun, seperti apakah suasana Braga pada era penyesuaian menuju normal baru?
“Hiburan hanya boleh buka hingga pukul delapan malam,” kata Didi. “Braga bersiap kembali sunyi [karena] tatanan baru kehidupan tengah dibuat.”
Bragaweg, demikian toponimi jalan ini pada masa Hindia Belanda. Kota memiliki bulevar-bulevar dan taman-taman nan asri. Maklumlah, kota ini pernah digadang-gadang sebagai ibu kota Hindia Belanda, menggantikan Batavia. Namun perang melenyapkan angan dan rencana itu.
Jalan Braga bermuara di Jalan Raya Pos. Dalam bayang-bayang temaram kota, Didi dan Arbain menapaki akhir persinggahan mereka. Keduanya berdiri mengamati keramaian lalu lintas di depan Societeit Concordia. Kita mengenalnya dengan sebutan Gedung Merdeka, tempat digelarnya Konferensi Asia-Afrika pada 1955.
Tampak depan gedung ini membangkitkan kenangan warga atas kemenangan terakbar Sukarno sebagai Kepala Negara Republik Indonesia yang menyatukan negara-negara yang membentang dari Asia sampai Afrika.
Pekerja seni yang puluhan tahun menghiasi Jalan Braga, tampaknya terus berkarya kendati pagebluk belum berakhir. “Rasanya kita harus memulai lagi melihat lebih dalam destinasi-destinasi sekitar kita,” kata Didi. “Mereka butuh pejalan singgah untuk kembali membuat roda pariwisata kembali berputar.”
Parisnya Jawa, demikian julukan lama Bandung. Kota ini berkembang pesat pada awal abad ke-20. Wajahnya berubah dari kota perkebunan teh menjadi kota modern nan modis. Nama Bragaweg pun menggantikan Pedatiweg. Seruas jalan ini memiliki pesona yang membangkitkan minat pejalan untuk singgah dan menghirup nuansanya—dari silam sampai kini.
Dari kota yang dibangun dari hasil kebun-kebun teh, kedua fotografer tadi beranjak menuju perkebunan teh di Pengalengan. Mereka menjangkau jarak sekitar 40 kilometer ke arah selatan Bandung. Malam itu Didi dan Arbain berkendara menuntaskan jalanan berliku, menanjaki bukit-bukit bersama kabut yang menghadang.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR