“IRPS merupakan komunitas pelestarian,” tuturnya, “jadi tujuan utama kita adalah pelestarian terutama aset-aset PT Kereta Api Indonesia. Sebenarnya kegiatan kami tidak hanya berkaitan dengan lokomotif, tetapi juga pelestarian bangunan, bahkan melacak rel yang sudah mati.”
Acara perawatan lokomotif koleksi museum ini dihadiri oleh anggota komunitas IRPS, Railfans Daop 1 (RD One), Komunitas Railfans Daop Empat (KRDE), dan Jejak Railfans. Selain komunitas pencinta kereta, peserta perawatan juga berasal dari warga yang peduli dengan sejarah kereta api Indonesia. Tampak beberapa anak-anak usia sekolah dasar turut melapisi badan kereta dengan minyak solar dan oli supaya mencegah timbulnya karat. Sekitar 40-an peserta mulai menggelayuti enam lokomotif uap. Mereka menyemprot atau melumuri tubuh-tubuh lok nan renta itu dengan minyak solar.
"Kami malu juga karena yang merawat justru dari teman-teman Railfans, bukan teman-teman pengelola museum.”
Danang Setyo Wibowo, Kepala Museum Transportasi, mengungkapkan kegembiraannya pada acara ini dengan gaya berkelakar. “Kami malu juga karena yang merawat justru dari teman-teman Railfans, bukan teman-teman pengelola museum.”
Kemudian Danang menambahkan bahwa pihaknya tetap berupaya merawat lokomotif uap itu karena memang telah menjadi tugas utama museum. Namun, pihaknya tidak dapat merawat secara tuntas karena status asetnya masih dimiliki oleh PT Kereta Api Indonesia—sementara Museum Transportasi berada dalam naungan Kementerian Perhubungan. “Jadi perawatan itu membutuhkan dana besar,” katanya. “Kementerian tidak bisa memberikan perawatan bagi status aset yang bukan milik kementerian.”
Baca Juga: Perjumpaan di Stasiun Kereta Listrik Pertama Hindia Belanda
Bersamaan dengan acara perawatan lokomotif itu, beberapa pekerja tengah berupaya mengangkut lokomotif koleksi Museum Transportasi untuk dipindahkan ke Surakarta. Minggu sebelumnya, lokomotif lain telah berhasil dipindahkan ke Surakarta. Rencananya, kedua lokomotif tua itu akan dipulihkan kembali seperti sedia kala kemudian digunakan untuk mendukung wisata kota. “Pengambilan D14 dan D52 ini membuat kami senang dan sedih,” kata Danang. “Sedihnya, koleksi kita berkurang dua. Senangnya, D14 dan D52 hidup kembali sehingga cucu kita bisa melihat bagaimana proses mekanisme lokomotif uap.”
Saya menjumpai salah satu pendiri IRPS, Adhitya Hatmawan, yang baru saja kembali dari survei stasiun-stasiun yang berpotensi sebagai museum—Bandung, Semarang, Tegal, Bondowoso, dan Purworejo. Berkaitan acara perawatan lok tua ini, dia berharap banyak generasi muda yang turut melestarikan warisan lok-lok tua. Komunitasnya tidak hanya di Jakarta, tetapi juga hidup dan berkembang di kota-kota penting dalam sejarah kereta: Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang.
“Stasiun Gerabag Merbabu masih kelihatan karena digunakan sebagai sekolah dasar sehingga terselamatkan. Kalau stasiun itu digunakan sebagai sarang burung walet, nasibnya akan hancur.”
“Semarang menjadi kota terpenting dalam sejarah perkeretaapian kita karena di sanalah cikal bakal pembangunan jalan kereta api,” ujar Adhitya. Beberapa minggu silam, IRPS Semarang menyelenggarakan napak tilas jalur kereta api dari Bedono sampai Gerabag Merbabu dalam rangka Hari Pahlawan. Mereka menyusuri jalur rel bergerigi non-aktif dan menjumpai salah satu bekas stasiunnya. “Stasiun Gerabag Merbabu masih kelihatan karena digunakan sebagai sekolah dasar sehingga terselamatkan. Kalau stasiun itu digunakan sebagai sarang burung walet, nasibnya akan hancur.”
Indonesia termasuk negara yang memiliki koleksi lokomotif uap paling banyak. Setelah pemindahan lokomotif uap D52 dan D14 ke Surakarta, kini Museum Transportasi memiliki 25 lokomotif (23 unit lokomotif uap dan 2 unit lokomotif diesel) yang masing-masing memiliki jenis yang berbeda. Jumlah itu belum termasuk lokomotif di Museum Kereta Api Ambarawa, juga belum termasuk lokomotif yang tidak terhitung dan tercatat karena telanjur berakhir di pengepul besi rongsokan.
“Kita kurang perhatian pada aset kereta api,” kata Nova. “Padahal kalau itu dibuat heritage yang bisa berjalan, wah, itu keren banget!”
[Artikel ini terbit pertama kali pada 28 November 2016]
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR