“Mari kita jalan ke sana,” ajak Nova Prima yang berjalan menuju ke tepian rel yang terpanggang matahari. Dia memeriksa lokomotif uap hitam legam yang pernah bertugas di kawasan Cibatu-Cikajang, Jawa Barat. “Ini adalah lok yang didesain khusus untuk daerah pegunungan yang berkelok-kelok. ‘Lok Gunung’, julukannya.”
“Lok ini adalah salah satu favorit saya,” ujar Nova membuka kenangan masa kecilnya. “Lok seri ini buatan Werkspoor Belanda, beroperasi sejak 1928 hingga 1980-an akhir.”
Nova merupakan Ketua Indonesian Railway Preservation Society (IRPS), komunitas pencinta kereta api yang memusatkan perhatian dan kegiatannya pada penyelamatan dan pelestarian aset sejarah perkeretaapian Indonesia. Dia bercerita tentang kakeknya yang pernah bekerja dalam divisi pembangunan dan jalan kereta api di Banjar, Jawa Barat. Setiap kali singgah ke rumah kakeknya, Nova berkesempatan menyaksikan Lok Gunung itu saat tiba di Stasiun Banjar kala malam. “Dia membawa macam-macam, ada gerbong penumpang ada gerbong barang,” kenangnya.
Ketika itu barang dan penumpang yang diangkut dengan kereta harus berganti-ganti lokomotif untuk menyiasati lekuk wajah Bumi. Setelah gerbong-gerbong kereta dari Jakarta atau Bandung tiba di Cibatu, lok ini bertugas melanjutkan perjalanan hingga Banjar, ujar Nova. Setelah dari Banjar, gerbong-gerbong kereta ditarik dengan lok D52 menuju Kroya, Maos, hingga Kutoarjo. “Masa kecil saya di Kutoarjo,” kenang Nova. "Saat saya kecil, sekitar jam lima sore melihat D52 sedang diputar."
Lok yang bertugas di kawasan pegunungan dirancang memiliki keunggulan dalam bermanuver. Nova menunjukkan bahwa lok tersebut memiliki dua bagian. “Bagian depannya yang bergerak, belakangnya diam.”
Bahkan, hingga hari ini kereta masih menjadi primadona sebagai angkutan massal tercepat di darat—sementara angkutan kendaraan lainnya seolah tak kuasa dalam lingkaran kemacetan yang tak berkesudahan.
Bagian belakang berisi air dan residu. Awalnya lok-lok yang beroperasi di Jawa menggunakan kayu atau batu bara. Lantaran tidak tersedia batu bara di Jawa, akhirnya ruang batubara dimodifikasi sebagai kompor untuk membakar residu. Dia menambahkan, “Residu itu semacam minyak solar, namun lebih kasar.”
“Itu bisa dilihat dari ini,” tunjuk Nova pada nomor kode di badan lok.
“C-C-5-0-0-1,” saya mencoba membaca kodenya.
“Bukan nomornya,” potong Nova. “Tapi, dasarnya yang berwarna merah itu artinya residu. Kalau warna hitam berarti batu bara.”
Betapa kereta api telah berevolusi menyesuaikan ruang hidup dan kekayaan sumber daya alamnya, sebelum terbitnya generasi kereta api modern. Jejaknya menjadi bagian sejarah negeri ini, sejak zaman perkebunan Hindia Belanda hingga zaman awal kemerdekaan. Bahkan, hingga hari ini kereta masih menjadi primadona sebagai angkutan massal tercepat di darat—sementara angkutan kendaraan lainnya seolah tak kuasa dalam lingkaran kemacetan yang tak berkesudahan. Kereta tampaknya akan selalu aktual.
Pada Minggu pagi itu, 27 November 2016, Nova membuka acara ‘Temu Kangen Railfans dan Perawatan Lokomotif Uap’ yang digelar di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah. Kegiatan perawatan lokomotif uap ini merupakan salah satu upaya pelestarian mereka.
Baca Juga: Kota Awal Kereta Api Menderu
“IRPS merupakan komunitas pelestarian,” tuturnya, “jadi tujuan utama kita adalah pelestarian terutama aset-aset PT Kereta Api Indonesia. Sebenarnya kegiatan kami tidak hanya berkaitan dengan lokomotif, tetapi juga pelestarian bangunan, bahkan melacak rel yang sudah mati.”
Acara perawatan lokomotif koleksi museum ini dihadiri oleh anggota komunitas IRPS, Railfans Daop 1 (RD One), Komunitas Railfans Daop Empat (KRDE), dan Jejak Railfans. Selain komunitas pencinta kereta, peserta perawatan juga berasal dari warga yang peduli dengan sejarah kereta api Indonesia. Tampak beberapa anak-anak usia sekolah dasar turut melapisi badan kereta dengan minyak solar dan oli supaya mencegah timbulnya karat. Sekitar 40-an peserta mulai menggelayuti enam lokomotif uap. Mereka menyemprot atau melumuri tubuh-tubuh lok nan renta itu dengan minyak solar.
"Kami malu juga karena yang merawat justru dari teman-teman Railfans, bukan teman-teman pengelola museum.”
Danang Setyo Wibowo, Kepala Museum Transportasi, mengungkapkan kegembiraannya pada acara ini dengan gaya berkelakar. “Kami malu juga karena yang merawat justru dari teman-teman Railfans, bukan teman-teman pengelola museum.”
Kemudian Danang menambahkan bahwa pihaknya tetap berupaya merawat lokomotif uap itu karena memang telah menjadi tugas utama museum. Namun, pihaknya tidak dapat merawat secara tuntas karena status asetnya masih dimiliki oleh PT Kereta Api Indonesia—sementara Museum Transportasi berada dalam naungan Kementerian Perhubungan. “Jadi perawatan itu membutuhkan dana besar,” katanya. “Kementerian tidak bisa memberikan perawatan bagi status aset yang bukan milik kementerian.”
Baca Juga: Perjumpaan di Stasiun Kereta Listrik Pertama Hindia Belanda
Bersamaan dengan acara perawatan lokomotif itu, beberapa pekerja tengah berupaya mengangkut lokomotif koleksi Museum Transportasi untuk dipindahkan ke Surakarta. Minggu sebelumnya, lokomotif lain telah berhasil dipindahkan ke Surakarta. Rencananya, kedua lokomotif tua itu akan dipulihkan kembali seperti sedia kala kemudian digunakan untuk mendukung wisata kota. “Pengambilan D14 dan D52 ini membuat kami senang dan sedih,” kata Danang. “Sedihnya, koleksi kita berkurang dua. Senangnya, D14 dan D52 hidup kembali sehingga cucu kita bisa melihat bagaimana proses mekanisme lokomotif uap.”
Saya menjumpai salah satu pendiri IRPS, Adhitya Hatmawan, yang baru saja kembali dari survei stasiun-stasiun yang berpotensi sebagai museum—Bandung, Semarang, Tegal, Bondowoso, dan Purworejo. Berkaitan acara perawatan lok tua ini, dia berharap banyak generasi muda yang turut melestarikan warisan lok-lok tua. Komunitasnya tidak hanya di Jakarta, tetapi juga hidup dan berkembang di kota-kota penting dalam sejarah kereta: Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Semarang.
“Stasiun Gerabag Merbabu masih kelihatan karena digunakan sebagai sekolah dasar sehingga terselamatkan. Kalau stasiun itu digunakan sebagai sarang burung walet, nasibnya akan hancur.”
“Semarang menjadi kota terpenting dalam sejarah perkeretaapian kita karena di sanalah cikal bakal pembangunan jalan kereta api,” ujar Adhitya. Beberapa minggu silam, IRPS Semarang menyelenggarakan napak tilas jalur kereta api dari Bedono sampai Gerabag Merbabu dalam rangka Hari Pahlawan. Mereka menyusuri jalur rel bergerigi non-aktif dan menjumpai salah satu bekas stasiunnya. “Stasiun Gerabag Merbabu masih kelihatan karena digunakan sebagai sekolah dasar sehingga terselamatkan. Kalau stasiun itu digunakan sebagai sarang burung walet, nasibnya akan hancur.”
Indonesia termasuk negara yang memiliki koleksi lokomotif uap paling banyak. Setelah pemindahan lokomotif uap D52 dan D14 ke Surakarta, kini Museum Transportasi memiliki 25 lokomotif (23 unit lokomotif uap dan 2 unit lokomotif diesel) yang masing-masing memiliki jenis yang berbeda. Jumlah itu belum termasuk lokomotif di Museum Kereta Api Ambarawa, juga belum termasuk lokomotif yang tidak terhitung dan tercatat karena telanjur berakhir di pengepul besi rongsokan.
“Kita kurang perhatian pada aset kereta api,” kata Nova. “Padahal kalau itu dibuat heritage yang bisa berjalan, wah, itu keren banget!”
[Artikel ini terbit pertama kali pada 28 November 2016]
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR