Nationalgeographic.co.id – Sebuah tradisi "mengerikan” peninggalan Zaman Perunggu, terungkap oleh para peneliti. Melibatkan praktik menyimpan sisa-sisa manusia yang sudah meninggal.
Dikutip dari BBC, studi yang dilakukan arkeolog dari University of Bristol ini menemukan fakta mengenai bagaimana orang mati dikenang 4.500 tahun lalu.
Mereka menggunakan penanggalan radiokarbon dan teknik pemindaian sinar X untuk mengetahuinya. Juga micro-computed tomography di Natural History Museum untuk melihat perubahan mikroskopis pada tulang yang dihasilkan oleh bakteri serta mempelajari bagaimana tubuh dirawat saat membusuk.
Baca Juga: Penemuan Alat Batu di Gua Maluku Ungkap Kehidupan Pelaut Kuno
Hasilnya menunjukkan, pada satu kasus, tulang paha manusia yang ditemukan di kuburan dekat Stonehenge telah dibuat menjadi alat musik.
Dr Thomas Booth, arkeolog dari University of Bristol, mengatakan: “Bahkan dalam masyarakat sekuler modern, sisa-sisa manusia dipandang sebagai objek yang sangat kuat, dan ini tampaknya berlaku juga bagi orang-orang di Zaman Perunggu.”
“Mereka memperlakukan dan berinteraksi dengan orang mati melalui cara yang kita anggap sangat mengerikan saat ini,” imbuhnya.
Di Wilsford, dekat Stonehenge, artefak yang diukir dan dipoles itu ditemukan bersama barang-barang lain, termasuk kapak batu dan perunggu, lempengan tulang, dan gading.
Baca Juga: Arkeolog Temukan Kuburan Bersejarah dengan Lebih Dari 1.500 Kerangka
“Meskipun jenazah dikubur, tapi beberapa bagian tubuhnya disimpan di rumah orang yang masih hidup—baik terkubur di bawah lantai atau dipajang,” kata Profesor Joanna Brück yang juga terlibat dalam studi.
"Itu menunjukkan bahwa orang-orang Zaman Perunggu tidak memandang sisa-sisa manusia dengan rasa ngeri atau jijik yang mungkin kita rasakan hari ini,” paparnya.
Menurut para peneliti, temuan tersebut menunjukkan bahwa sisa-sisa manusia dari mereka yang sudah mati, secara teratur disimpan dan didistribusikan kepada orang yang masih hidup.
Source | : | BBC |
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR