Nationalgeographic.co.id – Iringan musik gamelan membuka pertunjukkan. Tak lama, tirai panggung tersibak, menampilkan latar layaknya di sebuah kerajaan di khayangan.
Sekelompok penari wanita mengisi panggung, mengenakan kemben dipadu jarik, bersanggul dan riasan lengkap. Jari-jari lentik mereka menari di udara dengan selendang hijau terselip di antaranya. Tarian mereka membuka kisah pewayangan yang dipertunjukkan kepada ratusan khalayak di kursi penonton.
Sesaat setelah tarian mereka usai, para pelakon yang dirias layaknya tokoh-tokoh pewayangan dengan kostum gemerlap, sesekali berkilau diterpa cahaya panggung, muncul ke tengah panggung.
Dialog-dialog berbahasa Jawa krama mengalir di antara para pelakon. Babak demi babak berganti, hingga akhirnya sampai pula pada penghujung cerita. Penonton bersorak dan bertepuk tangan memuji para pelakon.
Baca Juga: Bertahan di Tengah Pagebluk, Para Seniman Wayang Orang Berteman dengan Teknologi
Situasi di atas adalah penggambaran apa yang terjadi di dalam Gedung Pertunjukkan Wayang Orang Bharata yang berlokasi di Senen, Jakarta Timur. Tidak banyak yang tahu bahwa di antara riuhnya lalu lintas di Senen, terminal yang selalu ramai, pasar dan pusat perbelanjaan, hingga gedung-gedung hotel dan perkantoran, terdapat gedung pertunjukkan tersebut.
Gedung pertunjukkan tersebut didirikan oleh para seniman pelestari kesenian wayang orang yang tergabung dalam Paguyuban Wayang Orang (WO) Bharata pada 5 Juli 1972.
Setiap Sabtu malam hingga dini hari, gedung pertunjukkan tersebut ramai dipadati oleh penggemar kesenian wayang orang atau mereka rindu kampung halaman.
Tentu saja, kebanyakan dari penonton adalah kaum sepuh—mereka yang bertumbuh besar dengan mendengar cerita-cerita pewayangan. Anak muda negeri semakin jauh dari seni tradisi warisan leluhur ini, kesadaran tentang pelestarian tradisi adiluhung kekayaan negeri sejatinya harus kembali dibangkitkan kembali.
Baca Juga: Kompetisi Desain Pelestarian Budaya Indonesia: Mengabadikan Budaya Lewat Sentuhan Digital
Globalisasi dan arus digital yang masif, menjadi tantangan tersendiri bagi para seniman dalam melestarikannya.
Survei Indonesia Millennial Report (2019) menemukan, setidaknya 94,4 persen milenial Indonesia berusia 20-35 tahun telah terkoneksi internet.
Penulis | : | Yasmin FE |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR