Ketika musim panas kembali dan populasi pulih, masyarakat Skandinavia memperoleh bentuk baru yang lebih bengis. Pemimpin menggalang kawanan perang bersenjata lengkap, mulai merebut dan membela wilayah terbengkalai. Bangkitlah suatu masyarakat militer, yang mengagungkan kemampuan perang—keberanian, keganasan, kepandaian bermuslihat, kekuatan dalam pertempuran. Di Pulau Gotland di Swedia, tempat arkeolog menemukan banyak makam utuh dari periode ini, “hampir separuh orang tampaknya dikuburkan bersama senjata,” kata John Ljungkvist, arkeolog Uppsala Universitet.
Sementara masyarakat bersenjata berangsur terbentuk, ada teknologi baru yang memicu revolusi kemampuan bahari Skandinavia pada abad ketujuh—layar kapal. Tukang kayu terampil mulai membangun kapal mulus bertenaga angin yang mampu mengangkut kawanan petarung bersenjata lebih jauh dan lebih cepat. Di atas kapal ini, para pemimpin utara dan pengikut mereka bisa mengarungi Laut Baltik dan Laut Utara, menjelajahi negeri baru, menjarah kota dan desa, serta memperbudak penduduknya. Dan lelaki yang tidak mendapat jodoh di kampung halaman bisa memperistri tawanan perempuan melalui bujukan atau paksaan.
Semua ini—berabad-abad ambisi para raja, banyaknya petarung muda tak beristri, dan jenis kapal baru—menciptakan malapetaka baru. Bangsa Viking siap membanjir dari utara, membakar sebagian besar Eropa dengan kekerasan khas mereka.
Pada sekitar 750, sekawanan petarung Viking masa awal menyeret dua kapal ke tanjung berpasir di Pulau Saaremaa, di lepas pantai Estonia. Jauh dari kampung halaman di hutan di dekat Uppsala, Swedia, mereka adalah sisa gerombolan pelaku penjarahan yang menelan banyak korban. Di dalam kapal, bergelimpangan mayat lebih dari empat puluh orang Viking, termasuk satu yang mungkin raja. Semuanya masih muda atau ber-usia prima—lelaki jangkung, berotot—dan banyak yang terlibat dalam pertarungan ganas. Ada yang ditikam atau dibacok hingga mati, ada yang kepalanya terpenggal.
Para petarung yang selamat itu memulai pekerjaan mengerikan, menyusun kembali bagian tubuh yang terpisah-pisah dan mengatur sebagian besar mayat itu di lambung kapal terbesar. Lalu, mereka menutupi jenazah dengan kain dan membuat makam darurat dengan menumpuk perisai perang di atas rekan yang gugur.!break!
Pada 2008, sekelompok pekerja yang sedang merentangkan kabel listrik menemukan tulang manusia dan serpih pedang berkarat, lalu pihak berwenang setempat memanggil arkeolog. “Ini pertama kalinya arkeolog menggali sesuatu yang jelas berkaitan dengan penjarahan Viking,” katanya. Lebih luar biasa lagi: Para petarung di Salme, Estonia itu, mati hampir 50 tahun sebelum penjarah Skandinavia menyerang biara Lindisfarne di Inggris pada 793, yang selama ini dianggap sebagai serangan Viking pertama.
Makam kapal di Salme itu menggemparkan spesialis Viking. “Hal yang mengagumkan adalah banyaknya pedang di sana,” kata Price. Sebagian besar peneliti sudah lama berasumsi, kawanan penjarah Viking awal terdiri atas beberapa pe-tarung elite bersenjatakan pedang dan peralatan perang mahal lainnya, serta puluhan anak petani miskin bersenjatakan tombak atau busur murah. Namun, jelas tidak demikian halnya di Salme. Jumlah pedang di makam itu lebih banyak daripada jumlah manusianya, mengonfirmasi setidaknya beberapa ekspedisi awal diikuti banyak petarung berstatus tinggi.
Pada suatu pagi di Januari, di taman industri di sebelah selatan Edinburgh, Skotlandia, sekelompok peneliti berjalan di muka, menuju lab konservasi kecil. Selama setahun lebih, ilmu-wan di sini meneliti harta yang dikumpulkan pe-mimpin Viking dari menjarah dan merampok. Timbunan Galloway yang dikuburkan sekitar 1.100 tahun silam di Skotlandia barat daya, adalah kumpulan benda aneh dan indah, mulai dari batang emas-murni hingga kain samite sutra dari dunia Bizantium atau Islam. Olwyn Owen, arkeolog yang berspesialisasi di era Viking, berkata, “Ini temuan luar biasa,” katanya.
Hari ini seorang konservator mengeluarkan beberapa benda langka. Di atas meja ada jepit emas ramping berbentuk seperti burung. Benda itu mirip aestel, penunjuk kecil yang dulu digunakan anggota kependetaan untuk membaca teks suci. Di dekatnya, liontin emas berhias, mungkin didesain untuk memuat relikui kecil dari santo. Owen memandangi sembilan bros perak, sebagian dihiasi sulur berputar dan makhluk mitos, sebagian wajah aneh yang mirip manusia. Semua kecuali satu, kata Owen, didesain untuk orang Anglo-Saxon. “Dengan kata lain,” dia menyimpulkan, “dulu ada biara atau permukiman Anglo-Saxon yang buruk nasibnya.”
Si pemimpin Viking yang merampas harta ini menggemari benda indah. Alih-alih melelehkan semua jarahan, ia menyisihkan beberapa buah untuk koleksi pribadi, karya seni asing yang eksotis. Menurut arkeolog Steve Ashby di University of York, bangsa Viking menggemari kemewahan, dan beberapa orang elite senang memiliki dan menggunakan simbol status ini. “Para pemimpin ini pesolek,” kata Ashby. “Masyarakat ini mementingkan pamer kekayaan.”
Para pemimpin Viking ini merias mata, mengenakan busana berwarna mencolok, dan memakai perhiasan berat—cincin leher, bros, gelang lengan, dan cincin. Tetapi, ini memiliki tujuan serius: Setiap benda mencerminkan kisah petualangan ke negeri asing, kisah keberanian dan kesembronoan yang sukses. Dengan mengenakan hasil jarahan perang pada tubuh, orang Viking menjadi iklan berjalan tentang hebat-nya kehidupan penjarah, memikat kaum muda untuk bersumpah setia demi memperoleh jatah jarahan. “Para pemimpin Viking tidak bisa malu-malu tentang kiprah mereka, kalau ingin mempertahankan kekuasaan,” kata Ashby.
Pada awal era Viking, penjarah terutama mengincar biara pesisir atau pulau—sepertinya dengan berbekal intel canggih. Pedagang Skandinavia sering mengunjungi pesisir Britania dan Eropa, dan mereka cepat menyadari, pasar biasanya digelar di sebelah biara. Saat berkeliling kios, sebagian tentu melihat piala perak dan emas yang menghiasi kapel biara. “Saya kira tak perlu berkhayal jauh-jauh untuk membayangkan, akhirnya ada yang berkata, ‘Bagaimana kalau kita colong saja barang-barang itu?’” kata Price.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR