Nationalgeographic.co.id – Seiring dengan modernisasi kesenian reog ponorogo semakin terimpit. Bukan hanya jumlah pelaku keseniannya yang merosot, ketersediaan bahan untuk membuat dadhak merak yang jadi daya tarik utama kesenian pun semakin langka.
Sebagai informasi, dadhak merak—topeng raksasa yang digunakan dalam kesenian—dibuat dari bulu merak hijau atau dalam bahasa ilmiah disebut Pavo muticus. Namun, konservasi kesenian ini perlahan menemukan titik terang. Terutama dalam hal penyediaan bahan pembuat dadhak merak.
Harapan tersebut datang dari Surat Wiyoto, seorang petani di Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, yang membuat penangkaran merak hijau. Surat sebelumnya tidak pernah belajar mengenai konservasi hewan endemik Pulau Jawa tersebut.
Kisahnya membuat penangkaran tersebut diawali dari sebuah ketidaksengajaan. Ia mengenang, suatu hari pada 1998, dirinya menemukan empat butir telur merak hijau saat sedang mencari rumput di Hutan Sampung.
Baca Juga: Data Terbaru: Tiga Miliar Hewan Terdampak Kebakaran Hutan Australia
“Telur-telur tersebut kemudian saya letakkan bersama ayam-ayam di kandang berukuran 4x4,5 meter. Lima belas hari kemudian telur-telur itu menetas. Saya mendapati dua ekor betina dan dua ekor jantan,” kisah Surat kepada tim National Geographic Indonesia ketika berkunjung ke penangkaran miliknya, Rabu (18/11/2020).
Dengan telaten Surat mengurus dua pasang merak hijau tersebut hingga akhirnya berkembang biak. Namun, niat baiknya merawat dan meneruskan hidup merak-merak hijau tersebut sempat membuatnya terjerat masalah.
Ia tidak tahu bahwa membuat penangkaran satwa langka seperti merak hijau memerlukan izin. Alhasil, penangkarannya dianggap ilegal. Pada 2010, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur Wilayah 1 Madiun menyegel penangkaran milik Surat.
Pengendali Ekosistem Hutan BBKSDA Jawa Timur Wilayah 1 Madiun Tri Wahyu Widodo, yang juga turut hadir pada kesempatan tersebut menceritakan, saat itulah Surat Wiyoto mulai mengajukan izin penangkaran.
“Waktu itu sudah ada anakannya. Empat tahun kemudian baru (Surat) mengantongi izin,” ujar Tri.
Baca Juga: Proyek 'Membiakkan dan Melepaskan' Selamatkan Kucing Liar Skotlandia
Ia berpendapat, upaya penangkaran yang dilakukan oleh Surat sebenarnya terpuji asalkan berizin. Pasalnya, merak hijau memang dibutuhkan untuk pembuatan dadhak merak. Tri menjelaskan, dengan kelangkaan bulu merak hijau, banyak pengrajin dadhak merak mengimpor bulu merak secara ilegal.
“Biasanya menggunakan bulu ekor merak biru India (Pravo cristatus) yang diimpor lewat jalur tidak resmi. Kelangkaan ini membuat reog ponorogo terkendala (kelestariannya),” ujarnya.
Mengantongi izin, penangkaran merak milik Surat dapat memenuhi stok kebutuhan bulu merak hijau. Namun, kendala lagi-lagi datang. Surat tidak dapat mengembangkan penangkarannya dan terkendala soal biaya pakan.
Melihat hal ini, PT Pertamina Integrated Terminal Surabaya bekerja sama dengan BBKSDA Jawa Timur dan Yayasan Action membantu pusat penangkaran merak hijau milik Surat dengan membangun Pusat Konservasi Merak Hijau.
Pertamina memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemberian bantuan pakan. Dukungan tersebut memungkinkan Surat melebarkan area penangkarannya. Kini Pusat Konservasi Merak Hijau yang ia kelola memiliki luas 800 meter persegi dengan jumlah merak hijau sebanyak 37 ekor.
Baca Juga: Berkat Konservasi, 48 Spesies Burung dan Mamalia Berhasil Diselamatkan dari Kepunahan
Dukungan Pertamina ini sejalan dengan visi konservasi budaya dan lingkungan.
“Pusat Konservasi Merak Hijau diharapkan memberikan ketersediaan bahan baku bagi kesenian Reog Ponorogo dan mendukung upaya pelestarian budaya kesenian Reog Ponorogo,” ujar Tri. Sebagai informasi, dalam setahun seniman reog di Ponorogo memerlukan 18.000 hingga 30.000 helai bulu merak untuk membuat dadhak merak.
Pusat Konservasi Merak Hijau ini tidak hanya mendukung konservasi kesenian reog ponorogo, tetapi juga dijadikan induk awal pengembangan program penyangga kawasan konservasi. Dua di antaranya Cagar Alam Gunung Picis dan Cagar Alam Gunung Sigogor.
Tak hanya memelihara keberlanjutan kesenian
Upaya Pertamina dalam mewujudkan sustainability (keberlanjutan) tidak hanya dilakukan di ranah lingkungan dan budaya, tetapi juga sosial. Salah satunya seperti yang dilakukan di RW 04 Pulo Wonokromo Wetan, Kelurahan Jagir, Kecamatan Wonokromo, Surabaya.
Baca Juga: Kematian Seorang Warga Picu Pembantaian 292 Buaya di Papua Barat
Pada 2016, warga di kampung tersebut harus mengalami kemalangan berkali-kali, sebab lingkungan tempat tinggal mereka yang padat dan berhimpitan rentan kebakaran. Rumah-rumah penduduk dilahap api sebanyak 15 kali. Setidaknya, itulah yang tercatat dalam data Dinas Pemadaman Kebakaran Kota Surabaya.
Akhirnya, sebuah tim khusus bernama Tim Wasiat yang beranggotakan 10 perwakilan warga Pulo Wonokromo Wetan dibentuk. Tim ini berperan melakukan tindakan pertama ketika terjadi kebakaran.
Terbentuknya Tim Wasiat ini tak lepas dari peran PT Pertamina (Persero) Integrated Terminal Surabaya. Tim ini dibentuk sebagai bagian dari program Kampung Hijau Berbasis Health Safety Security Environment (HSSE).
Selain menggandeng masyarakat, Pertamina turut menggandeng stakeholder yang berkompeten pada bidang penanggulangan kebakaran seperti Dinas Pemadam Kebakaran Kota Surabaya dan Rumah Sakit rujukan.
Tidak berhenti sampai di situ, Pertamina memberi dukungan tambahan sebagai aksi tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR).
Baca Juga: Kebakaran Hutan dan Lahan Timbulkan Masalah Kesehatan Pada Anak di Masa Depan
Pertamina menginisiasi pengelolaan air limbah, kegiatan bercocok tanam, dan penghijauan melalui Zona Hidroponik, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dan program lansia sehat yang produktif.
Selain itu, setiap RT diwajibkan untuk mengelola Bank Sampah sesuai kelompoknya, yakni organik dan non-organik. Hasilnya, 1.200 kilogram sampah organik berhasil diolah menjadi biogas, kompos, dan pupuk cair setiap tahunnya.
Mendukung perempuan tangguh di DAS Brantas
Upaya menciptakan kehidupan yang lebih baik juga dilakukan Pertamina di daerah aliran sungai (DAS) Brantas.
Pertamina bekerja sama dengan Kelompok Pusat Ekonomi Jambangan Hebat (Pejabat). Salah satu program yang diselenggarakan adalah mensejahterakan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang merupakan ibu tunggal.
“Di situ, ada sekitar 16 single-parent, yang mana mereka usianya masih di bawah 50 tahun. Mereka difasilitasi kurang lebih ada 10 sampai 13 UKM,” ujar Risnani, yang juga menginisiasi Kelompok Pejabat.
sunBaca Juga: Studi: Ciliwung Masuk ke dalam Daftar Sungai Terkotor di Dunia
Selain menggerakkan roda perekonomian para wanita tangguh, Kelompok Pejabat bersama Pertamina juga turut membenahi dan mengembangkan lingkungan yang bersih dan nyaman melalui program Pejabat Peduli Ge’blak.
Dukungan yang diberikan berupa pembenahan infrastruktur serta pendampingan kepada masyarakat untuk mengubah pola hidup yang lebih bersih.
Hasilnya, 2 kilometer bantaran sungai Brantas berhasil ditata. Pembenahan berhasil menciptakan sektor wisata yang diinisiasi oleh warga Kebonsari, bernama Wisata Kali Kebonsari.
Sepanjang 2019 – 2020, omzet pendapatan dari kunjungan tamu mencapai lebih dari Rp 20 juta. Aksi ini berhasil memadukan pelestarian lingkungan melalui Gerakan Balik Kanan (Ge’blak) dan peningkatan ekonomi komunitas melalui Kampung Pejabat.
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR