Nationalgeographic.co.id—Makna rempah tak selesai pada perbincangan di meja makan. Konteksnya bisa amat luas, bahkan membentuk peradaban. Kesempatan ini yang diambil National Geographic Indonesia. Tajuk khusus bertema Merampah Rempah yang terbit Januari 2021 ini pun hadir untuk memuliakan rempah.
Tidak seperti biasanya, edisi ini merupakan yang ke-13. Sebagai pembuka pada kampanye rempah National Geographic Indonesia selama 2021. Memahami rempah juga memahami masa lalu. Narasi seperti ini perlu disampaikan kembali ke publik.
"Kami merasa bahwa narasi ini harus muncul dari rumah kita sendiri. Bagaimana dahulu negeri kita menjadi rebutan. Sebagai media tugas kami menginformasikan. Rempah adalah mangkok kehidupan negeri ini. Kita sebagai insan terbentuk dari perjumpaan ribuan tahun silam," Kata Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia di Bincang Redaksi-24 Merapah Rempah.
Baca Juga: Melihat Ulang Bagaimana Sudut Pandang Menjadi Seorang Pejalan
Sejak 2016, Direktur Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan sudah intens mengembangkan narasi rempah. Ternyata banyak daerah-daerah yang belum tercatat, menurut Hilmar Farid, Direktur Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan. Karena itu misi ini akan selalu berkelanjutan.
Hilmar mengajak kita menelaah kembali. Bahwa jalur rempah tidak selalu erat dengan peta yang dibuat Eropa, lalu berbondong datang ke Nusantara untuk jelajah cari rempah, tidak sesempit itu narasinya. Yang terlupakan bahwa Nusantara sudah ada koneksi dengan Afrika Timur dan Asia Selatan. Narasinya luas.
"Tahun 1000 dunia sudah sangat ramai, Asia bertemu Afrika. Amerika Latin pun berkembang pesat. Sebetulnya pada tahun itu Eropa yang terkurung sendiri. Ada anggapan narasi ini dibangun sikap inferior Eropa. Itu narasi membalik,' kata Hilmar.
Selama 5000 tahun hubungan Nusantara erat dengan Madagaskar hingga Polynesia. Berbahasanya pun sama pada penyebutan angka dan hewan. Juga peninggalan lainya, seperti situs gua harimau di Sumatra dengan penemuan jasad manusia berusia 5000 tahun. "Persebaran itu luas. Sudah jauh dari kedatangan kolonial," tutur Hilmar.
Jalur rempah adalah imperium besar tempat bersandingnya budaya, ekonomi, dan pangan. Lingkup ini memiliki potensi untuk berbagai kepentingan. Sebuah matrik yang jauh lebih besar.
"Tiongkok punya ambisi besar dengan jalur sutra nya, itu disertai investasi dari berbagai negara. Mimpinya membuat imperium besar. Kita bagaimana? Kekuatan kita justru mempertemukan kemampuan satu dan lainya." tutup Hilmar.
Baca Juga: Kartografi Dunia Berutang Kepada Rempah Maluku
Kayu manis adalah salah satu jenis rempah. Ia bisa dimanfaatkan kulitnya, daunya, rantingnya, dan batangnya. Kayu manis juga dikategorikan sebagai pohon industri. Karakteristiknya juga disukai oleh pasar.
Indonesia patut berbangga dengan kayu manis, karena ia asli Indonesia dan tersebar di Malaysia, Filipina, Hawai, dan Eropa. Sudah sejak 5000 tahun lalu kayu manis dimanfaatkan oleh raja-raja kuno. Sebagai balsem tubuh, pewangi ruangan, konsumsi, dan pengawetan daging.
Kayu manis memang menjadi aset bangsa yang khas. Tetapi saat ia sudah menyebrangi lautan, sudah tidak berlaku lagi kepemilikan kayu manis dari Indonesia. Sidi Rana Manggala, Peneliti Kayu Manis dan Kandidat Doktor di Ghent University Belgia mengatakan bahwa kayu manis yang sudah dijadikan komoditi di Barat tidak diakui milik Indonesia
Mereka mengakui bahwa kayu manis adalah hak miliknya. Bakan Amerika membuat Cinnamon Day menjadi perayaan hak milik kayu manis versi mereka. "Mengapa Indonesia tidak punya kepemilikan terhadap komoditas historis ini?" tanya Sidi.
Baca Juga: Rupa Pulau Jawa Bingungkan Penjelajah Samudra Abad Ke-16
Banda dahulu dan sekarang adalah tempat perburuan rempah. Keberadaanya menjadi titik awal bermulanya penjajahan Nusantara. Salah satu daerah yang menari jika kita ingin bicara rempah.
Pala di Kepulauan Banda adalah komoditas yang bisa kita reflektidkan dengan penjajahan masa lalu dan kehidupan berbangsa hari ini, menurut Muhammad Fadli, Kontributor Foto National Geographic Indonesia.
"Buat saya, ini semacam awal dari upaya dekolonisasi. Mungkin dengan mengakui apa yang terjadi di masa lalu, kita mengetahui betul-betul seperti apa kejadianya. Ada kontribusi pemikiran bangsa. Banda keitka belanda datang dijadikan monopoli pala. Mereka membantai banyak masyarakat di sana," kata Fadli.
Sebelum Belanda datang, Banda dijadikan sentra dagang. Seperti orang Maluku yang bawa burung cendrawasih. Kepulauan ini dahulu menurut Fadli ditemukan oleh bangsa Portugis, dilanjutkan Belanda dan Inggris. Tapi jauh sebelum mereka, orang Arab dan Tionghoa sudah datang lebih dulu untuk dagang.
Orang Banda, menurut Fadli tidak ada yang benar-benar asli. Sejak Belanda membantai habis penduduk Banda pada 1621 dan monopoli pala, mereka kekurangan pekerja. Didatangkanlah orang dari Buton, Jawa, dan Melayu.
Banda sudah jadi pusat bisnis sejak dulu dan sejarahnya kaya. Tapi yang jadi catatan bagi Fadli, banyak anak Banda sekarang tidak melihat masa depan pulau itu. Mereka memilih merantau keluar Banda.
Baca Juga: Pesona Lada Aceh, dari Ottoman hingga Eropa Barat
Sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi kita untuk menyelisik dan mengungkap kembali nama jalur rempah. Jalur ini tidak hanya berkait rempah, tetapi juga bicara perkembangan budaya, religi, dan gaya hidup yang luas menurut Managing Editor National Geographic Indonesia, Mahandis Yoanata Thamrin.
"Ini adalah tema dunia, di sinilah National Geographic Indonesia bisa turut tampil melalui Merapah Rempah. Narasi ini membantu menyusuri siapa sejatinya kita. Kita adalah sanubari-sanubari yang terbentuk dari pertemuan ribuan tahun silam," katanya menutup acara Bincang Redaksi.
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR