Cerita oleh Aden Firman
Foto oleh Mikael Jefrison Leo
Nationalgeographic.co.id—Sejak dahulu kita hanya mengenal bagian kecil dari Flores. Pada masa Hindia Belanda, Nusa Tenggara lebih populer dengan nama Sunda Kecil. Padahal ciri-ciri kesundaan hanya di wilayah Bali dan Sumbawa.
Sekitar 1915-1950, Nusa Tenggara masih disebut-sebut sebagai 'wilayah pinggiran'. Akibatnya Nusa Tenggara kurang mendapat perhatian.
Di bidang pencatatan dan penelitian, kita bisa membandingkan dengan Sumbawa (Bima) yang lebih maju karena mengenal tradisi tulisan bernama Bo, kitab undang-undang atau kumpulan catatan dari Kerajaan Bima. Namun penduduk wilayah Nusa Tenggara pada umumnya justru tidak mengenal tradisi tulisan. Catatn atau penelitian hanya bersumber dari lisan.
Adapun para peneliti pernah mengatakan bahwa sumber bacaan atau pencatatan tentang Manggarai dan yang terkait Nusa Tenggara Timur itu sedikit bisa ditemui.
Baca Juga: Pata Déla: Pedoman dalam Hidup Bersama dari Para Leluhur di Bajawa
Semasa kuliah, saya mencoba membuat agenda rutin jalan-jalan ke toko buku. Untuk memastikan buku apa saja yang memiliki aroma timur Indonesia. Saya melihat hal itu jarang termpampang di antara barisan buku-buku yang lain. Sekalipun ada hanya di cabang toko buku ternama.
Karena hal itu saya mengira bahwa sampai hari ini narasi atau dokumentasi tertulis tentang Flores tidak akan mudah untuk ditemui kecuali mendengarkanya langsung dari cerita orang tua. Sukar sekali menemukan buku tentang itu bahkan tidak banyak yang bisa ditemukan di laman-laman internet.
Kabar baiknya belakangan kepariwisataan kita kini mengedepankan narasi atau sisi lain dari cerita yang kita miliki. Salah satunya diskusi kelompok terfokus yang bertema “Membangun Narasi Aktivitas Pariwisata Minat Khusus Labuan Bajo dan Kota-Kota Satelitnya” yang digelar National Geographic Indonesia yang bekerjasama dengan Wonderful Indonesia dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Saya tidak pernah mengira akan diundang juga menjadi salah satu peserta workshop untuk menghadiri kegiatan seperti ini. Apalagi undangan datang dari majalah bingkai kuning yang banyak kita kagumi.
Sepanjang kegiatan saya lantas banyak termangu-mangu. Menyimak. Sebab kali pertama mengikuti lokakarya dengan topik terkait Flores.
Itu tanda bahwa apa yang dibahas dalam pertemuan ini sebagiaan besar merupakan sesuatu yang baru pula bagi saya.
Kesempatan ini saya gunakan untuk belajar, ada hal yang mungkin menarik bahwa pertama, sudah ada upaya penggalian cerita atau sisi-sisi lain dari Flores terutama melalui kacamata warga lokal sendiri untuk arah membangun narasi tentang kampung halaman.
Kedua, agaknya secara menyuluruh Flores kini mendapat perhatian yang istimewa dari sisi wisata. Di tengah geliat kepariwisataan yang belakangan tampak cenderung hanya membuat Labuan Bajo lebih populer ketimbang wilayah lain sedaratannya.
“Nanti kita akan memberikan jawaban bahwa kita membuka hal ini dengan ketidaktahuan. Kita belum tahu akan melihat Flores akan seperti apa. Kita tidak ingin Flores hanya Labuan Bajo saja,” terang Kak Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia.
“Itu pertanyaan ketika kita memulai ekpedisi ini. Untuk menjawab pertanyaan yang belum kita jawab. Ngeri juga kalau membayangkan ada Pulau Bali baru. Kami juga tidak ingin mengarah ke satu titik. Kami beranggapan bahwa kita sebagai archipelago, negara kepulauan harusnya menjadikan identitas itu di depan,” kata Didi Kaspi Kasim, sembari memberi slide foto penjelajahannya di pulau ini bersama Kak Dedy Lisan, vokalis Andra and The Backbone yang juga diketahui gemar melakukan perjalanan dengan sepeda motor.
Perjalanan Untold Flores tidak sepenuhnya dilakukan oleh National Geographic Indonesia melainkan melibatkan teman-teman lokal yang lebih jauh mengerti tempat tinggalnya. “Kami hanya merajut narasinya-narasinya,” Didi kemudian memperkenalkan salah satu perwakilan tim lokal yang berasal dari Maumere, Mikael Jefrison Leo yang punya andil besar dalam mengumpulkan narasinya.
Sempat terlintas dipikiran saya mengapa membangun narasi Flores ini menjadi tugas kita semua. Bagaimana caranya jika kita justru hanya ingin melakukannya di kampung halaman sendiri. Ada perihal yang barangkali menjadi penting dalam sesinya, oleh Didi Kaspi Kasim bahwa ia mengajukan gagasan kepada kita untuk coba mengembangkan narasi yang bertalian dari kampung ke kampung, bagaimana komoditi itu bisa kita sambung menjadi sebuah narasi sebagai Flores yang utuh.
Kita bisa duduk di dalam rumah-rumah adat kecil dan mendengarkan cerita-cerita dari tetua. Namun “Saya takut cerita-cerita itu hanya tinggal di sana.”
Baca Juga: Semangat Menyelamatkan Wastra Pusaka Melalui Kekuatan Narasi
UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Source | : | Aden Firman |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR