Nationalgeographic.co.id—Hugo Massie (24), seorang pekerja lepas mengulik musik Jepang sejak umur 19 tahun. Mula-mula ia mendengarakan Tatsuro Yamashita dan Matsuda Seiko. Ia coba menyoroti lebih dalam dan menemukan Mariya Takeuchi dari alogaritma YouTube. Waktu demi waktu dihabiskan Hugo untuk mencari musisi lain seperti Anri, Omega Tribe, dan Matsubara Miki yang dikenal membawakan genre City Pop.
Lagu favoritnya berjudul Kanashimi no Jody oleh Tatsuro Yamashita. Nada lagu itu membuat Hugo berfantasi pada sesuatu yang emosional.
Baginya City Pop adalah genre yang misterius, membawanya pada nostalgia gemerlap diskotik di malam hari. Sensasinya berbeda ketika mendengarkan lagu Barat dan Indonesia. Walaupun pada era yang sama—pertengahan tahun 1970 ke awal 1980.
"Ada sensasi nostalgia yang nggak bisa didapat dari musik Indonesia maupun Barat. Secara teknikalitas musik gue juga nggak tahu kenapa bisa begitu. But after doing some research, ternyata di jepang ada istilahnya "natsukashii", semacam perasaan nostalgia yang belum pernah dirasain sebelumnya tapi kita bisa rasain di nada-nada lagu itu," kata Hugo pada National Geographic Indonesia (12/01/2020).
Baca Juga: Dewi Matahari Amaterasu, Leluhur Ilahi dari Keluarga Kekaisaran Jepang
Andy Cabic melahap City Pop dan tak lama menjadi akrab. Kepala band fold-rock Vetiver itu membayangkan lagu soft rock Amerika seperti AOR, pop West Coast, dan Boogie. Tapi ada sesuatu yang aneh dengan City Pop.
"AOR, pop West Coast, anda telah mendengar lagu itu jutaan kali, otak anda mulai mati ketika mendengarnya lagi," kata Cabic di Rolling Stone. "Tapi jika anda mendengarnya dengan cara yang berbeda. Itu membangkitkan sesuatu, seperti, Sialan!"
Sebagian besar musik City Pop Cabic ialah Tatsuro Yamashita, Sugar Babe, dan Happy End.
Akar dari City Pop terletak pada New Music, campuran Folk-Rock dari The Band, Bob Dylan dan Laurel Canyon, tetapi yang terpenting adalah Bahasa Jepang itu sendiri. Kata yang tepat untuk mendeskripsikan estetika genre City Pop adalah "tasteful". Terdengar familiar bagi siapa pun yang pernah mengulik Steely Dan. City Pop hadirkan palet hi-fi mewah yang menyampaikan kedalaman emosional menurut Rolling Stone.
Jurnalis musik bernama Yutaka Kimura menyebutnya sebagai "musik pop perkotaan untuk mereka yang bergaya hidup urban" dalam Disc Collection: Japanese City Pop (2011).
Stereo set mobil adalah faktor unik yang membantu reputasi genre ini menurut Tirto.id. Warga perkotaan di Jepang tiba-tiba membutuhkan musik yang enak didengar sepanjang jalan menyerap kosmopolitanisme.
Muda-mudi, khususnya generasi y dan z menurut Hugo mulai bosan dengan musik saat ini. Mereka coba mencari genre alternatif melalui tayangan YouTube. Alogaritma punya peran besar bagi kedua generasi itu untuk mengulik City Pop.
"Faktor algoritma AI YouTube ini memang nggak bisa dipungkiri jadi faktor yang bikin generasi y dan z banyak cari City Pop," tutur Hugo.
Taishi Nagasaka dari NION Berlin mengatakan, berbicara City Pop tidak bisa lepas dari Vaporwave. Genre yang keluar pada awal 2010 dan menjadi budaya di internet. Ia hadir sebagai kritik atas kapitalisme budaya populer.
Orang-orang Vaporwave menampilkan visual bernuansa retro dan elemen-elemen kultur pop 80-an denga latar merah jambu dan ungu. Mereka memasukan lagu future funk dan lagu lagu kartun berbahasa Jepang. Menurut Nagasaka, hal inilah yang membuat City Pop mendunia.
Bagaimanapun, Vaporwave memasukan musik kartun Jepang dari tahun 80-an dan City Pop. Jadi ini dia, ini hubungannya, ini membuat beberapa orang barat mulai menggali City Pop," tulis Nagasaka.
Source | : | Tirto Id,Rolling Stone,Wawancara Hugo Massie,Buku Disc Collection: Japanese City Pop (2011),NION Berlin |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR