Nationalgeographic.co.id – Komodo, hewan endemik di Nusa Tenggara Timur ini menjadi daya tarik pariwisata Indonesia masa kini. Bahkan kawasan Taman Nasional Komodo kini digadangkan sebagai kawasan pariwisata premium untuk membangun industri pariwisata Indonesia.
Menurut Kementerian Kehutanan, sejak 2015 hingga 2019, pemerintah membidik target untuk dapat menarik 21,5 juta kunjungan ke kawasan konservasi itu. Kemudian kunjungan kian bertambah, dan terus dipromosikan hingga kini meski pagebluk Covid-19 belum kunjung reda. Kawasan itu pun mengalami pembangunan infrastruktur.
Berbagai infrastruktur pariwisata yang sudah ada, ditambah dengan adanya permukiman di Taman Nasional Komodo, membuat kadal besar itu menjinak dan bergantung pada manusia.
“Jadi misalnya ada di resor di Loh Buaya, ada saja komodo yang selalu lewat di situ, tidak mengganggu kita, kita juga tidak mengganggu komodo. Jadi seperti hidup berdampingan,” terang Evy Ayu Erida, Peneliti Komodo dari LIPI, dikutip dari BBC Indonesia.
Baca Juga: Perubahan Iklim dan Sempitnya Habitat Ancam Kepunahan Komodo Pada 2050
Namun ketergantungan komodo pada manusia juga menimbulkan dampak negatif bagi mereka. Sebagaimana laporan studi yang diterbitkan di Springer Nature pada 2018 oleh Ardiantono dari Komodo Survival Program, bersama rekan dari Deakin University dan University of Florence.
“Komodo yang terpapar ekoturisme menunjukkan kurangnya kewaspadaan secara signifikan, massa tubuh lebih besar, kondisi tubuh lebih baik, dan kelangsungan hidup yang lebih tinggi,” tulis mereka di bagian abstrak.
Selama satu bulan, mereka mengamati di delapan lokasi di Pulau Komodo dan Rinca, yakni Loh Kiang, Loh Lawi, Loh Sebita, Loh Wau, Loh Buaya, Loh Baru, Loh Tongker, dan Loh Dasami. Kedelapan lokasi ini dijadikan sampel penelitian karena memiliki tingkat aktivitas manusia yang berbeda.
Melalui pengamatan di delapan lokasi itu, mereka mengategorikan berdasarkan tingkat aktivitas manusianya. Yakni, area manusia beraktivitas tinggi, area manusia beraktivitas rendah, dan area yang tidak ada atau jarang terdapat aktivitas manusia.
Untuk dapat mengetahui respon komodo akibat tingkat aktivitas manusia di sekitarnya, mereka juga mencatat massa dan panjang tubuhnya yang berpengaruh pada perubahan fisiknya. Mereka juga mencatat indeks kondisi tubuhnya untuk mengetahui seberapa sehat dan energiknya hewan itu di lokasi.
Baca Juga: Perubahan Iklim Turut Menurunkan Kedatangan Turis di Indonesia?
Pengambilan sampel ini dilakukan secara aman dan tidak membahayakan komodo agar kebebasannya beraktivitas selama studi tetap terjaga.
Pada area yang nyaris tidak ada aktivitas manusia akibat pariwisata atau warga, komodo memilih untuk menghindar saat dikunjungi. Di kawasan itu juga tidak ditemukan bangunan permanen, sehingga peneliti menganggapnya sebagai perilaku bebas komodo kepada spesies asing (manusia).
Sedangkan di kawasan yang banyak manusia, reaksi itu sangat berkurang dan cenderung netral. Reaksi seperti itu, menurut para peneliti, mungkin adalah kondisi netral komodo dalam bereaksi terhadap manusia, sebagai spesies yang telah diketahuinya.
Namun dampak negatifnya, ketergantungan mereka membuatnya menjadi hewan pemakan ternak di sekitar desa, dan mengakibatkan serangan luka ringan pada manusia.
Tubuh komodo yang terbiasa dengan kehadiran manusia menjadi lebih besar, dibandingkan area yang nyaris tidak ada aktivitas manusia.
Ardianto dan tim menulis, “Ini menunjukkan secara konsisten komodo mendapatkan [makanan] tambahan dari kegiatan ekowisata dan sisa makanan pos penjaga hutan. Perubahan fenotipe tersebut didasarkan pada tingkat ukuran rata-rata pada situs yang diambil dari individu yang ditangkap di beberapa habitat yang menunjukkan bahwa bahkan subsidi lokal makanan dapat sangat memiliki efek skala luas pada komodo.”
Komodo di kawasan aktivitas manusia yang tinggi memiliki proporsi yang tidak berimbang pada individu yang lebih kecil. Terbukti secara pengamatan kecanduan komodo pada makanan yang diberikan manusia mengakibatkan kompetisi. Kebiasaan ini bisa berakibat ketimpangan gizi pada hewan tersebut.
Baca Juga: Dalam Sehari Tiga Orangutan di Kalimantan Tengah Berhasil Diselamatkan
Konsekuensi negatif lainnya juga berdampak pada jumlah populasi komodo. Sementara komodo dewasa berukuran besar mendapatkan makanan lebih banyak daripada berukuran kecil dan berusia muda, sehingga pertumbuhan jumlah populasi tak meningkat.
Semestinya, menurut tim studi, ekowisata harus dikelola dengan baik yang dapat menghasilkan manfaat konservasi jangka panjang bagi komodo. Dengan terbukanya lapangan pekerjaan akibat pariwisata, akan menyebabkan interaksi yang lebih banyak antara manusia dan hewan itu.
Untuk mengurangi efek jangka panjang akibat interaksi manusia dengan populasi komodo, para peneliti menawarkan solusi yang mesti diterapkan otoritas. Mereka menyarankan agar sumber makanan disediakan dan melarang adanya pemberian makanan oleh wisatawan. Pembuangan limbah juga perlu diperbaiki, misalnya dengan daur ulang dan pengangkutan sampah keluar taman nasional.
Pihak pariwisata juga harus mempertimbangkan ekowisata alternatif untuk pengaruh manusia pada komodo dan habitatnya, seperti membuat jalur jalan kaki tambahan. Selain itu juga perlu ada pengenalan lebih dalam terhadap spesies unggulan lainnya, seperti kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea) agar tidak terlalu mengganggu komodo.
Baca Juga: Pembangunan Rest Area di Taman Nasional Komodo Menuai Protes
“Kunjungan ke taman nasional harus tetap diatur melalui penggunaan infrastruktur khusus dan terbatas secara spasial di mana wisatawan hanya dapat mengamati komodo,” mereka menyarankan.
Terakhir, mereka juga menyarankan dengan tegas agar semua fasilitas dan infrastruktur pariwisata harus di luar kawasan Taman Nasional Komodo. Pertimbangan pendekatan manajemen regional yang baik dalam ekowisata dan pengembangan kawasan, akan membatasi dampak negatif pariwisata kepada komodo.
Source | : | ResearchGate,BBC Indonesia |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR