Nationalgeographic.co.id—Imanuddin Utoro terkejut saat tahu masyarakat Desa Bojongsari, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung sebenarnya paham cara pengelolaan sampah yang benar. Hanya saja, pengetahuan dan praktik keseharian mereka belumlah selaras, bahkan “jomplang”.
"Dari hasil survei kami, masyarakat tahu cara mengelola sampah yang baik. Salah satunya pengomposan. Kemudian juga bagaimana memisahkan sampah (organik dan non-organik), mereka juga tahu," kata Manager Program Kehutanan Yayasan KEHATI itu.
Namun ada keterbatasan pada masyarakat desa tersebut yang membuat mereka belum bisa dan/atau belum mau menerapkan pengelolaan sampah yang benar. Sebagian warga belum memiliki tempat sampah di rumah mereka sendiri. Sebagian RW di desa itu juga belum memiliki tempat pembuangan sementara (TPS) yang bisa menampung sampah warga.
Akibatnya, banyak warga yang kemudian membuang sampah rumah tangga mereka langsung ke Sungai Citarum. Sampah-sampah rumah tangga inilah yang kemudian menyumbang tingkat pencemaran Sungai CItarum, sungai yang menyandang predikat sebagai sungai terkotor di dunia.
Baca Juga: Kehidupan di Pinggir Citarum, Sungai Terkotor di Dunia
Bank Dunia pernah menyatakan Citarum sebagai sungai terkotor di dunia sejak lebih dari satu dekade lalu. Julukan ini digunakan oleh para peneliti, pemerhati lingkungan, dan praktisi media untuk mendeskripsikan betapa banyak dan gawatnya limbah yang mencemari Citarum. Kondisi pencemaran di Sungai Citarum ini tetap menjadi perhatian banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri, hingga sekarang.
Media Inggris bernama Channel 4, salah satunya, pernah meliput dan menobatkan Sungai Citarum sebagai sungai terkotor di dunia. Liputan mereka antara lain memperlihatkan warna sungai itu menjadi berwarna-warni akibat limbah dari pabrik tekstil.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR