"Dari problem yang ada, kami melihat ada dua pendekatan yang bisa kita lakukan. Yang pertama lewat komposting karena kami melihat metode ini cukup dikenal oleh masyarakat, hanya saja tidak banyak dilakukan. Problemnya adalah desa ini sering banjir. Jadi kalau musim penghujan seperti sekarang bisa dipastikan kampung itu akan terendam banjir, sehingga pastinya akan menjadi masalah ketika melakukan pengomposan," papar Iman.
"Itulah makanya kami membantu mempersiapkan infrastruktur berupa tong-tong komposter sampah. Saat ini kapasitasnya 20 meter kubik per bulan. Jadi komunitas ini bisa mengelola sampah organik 20 meter kubik per bulan. Hasilnya adalah pupuk organik cair."
Selain bisa mengurangi sampah desa hingga 20 meter kubik per bulan, pupuk organik yang dihasilkan dari metode ini juga bisa dimanfaatkan oleh warga-warga yang berprofesi sebagai petani di sana. Jadi pengelolaan sampah organik ini dilakukan oleh masyarakat desa dan hasilnya digunakan pula oleh masyarakat.
Baca Juga: Upaya Menyelamatkan Citarum
"Intervensi lain yang kami lakukan adalah budidaya maggot BSF (black soldier fly/lalat tentara hitam). Kami membangun satu infrastruktur rumah BSF. kapasitasnya adalah 3 ton per bulan," tambah Iman.
Maggot atau fase larva atau belatung dari BSF ini bisa mengonsumsi sampah organik hingga tiga kali lipat dari berat tubuhnya dalam 24 jam. Jadi, sampah organik warga desa bisa dijadikan makan maggot BSF ini dan cukup efektif untuk mengurangi sampah organik yang sudah dipilah warga. Sisi baik lainnya, kegiatan budidaya maggot BSF ini mampu memberi nilai ekonomi bagi warga setempat lewat penjualan telur dan larva BSF hasil budidaya.
"Rumah BSF berukuran 3 kali 5 meter itu bisa menghasilkan uang 4 sampai 6 juta (rupiah) per bulan yang itu bisa diputar lagi untuk pengelolaan sampah di masyarakat."
Iman mengatakan, jika masyarakat diberi infrastruktur dan tambahan pengetahuan yang memadai, mereka sebenarnya sanggup mengelola sampah rumah tangga mereka dengan baik. Empat komunitas di Desa Bojongsari itu adalah contoh nyata bahwa mereka kini bisa memilah sampah organik dan non-organik sejak dari rumah-rumah mereka dan kemudian mengolahnya untuk jadi komoditas ekonomi seperti pupuk organik dan pakan maggot BSF.
Baca Juga: Mengurai Bahara Citarum
Menurut Iman, masalah utama dalam pengelolaan sampah di masyarakat adalah tidak adanya sistem yang utuh dan kontinu. "Itu problem yang dihadapi di seluruh Indonesia"
Iman mencontohkan, banyak warga Desa Bojongsari sebelumnya malas melakukan pemilahan sampah organik dan non-organik dari rumah mereka karena mereka melihat sampah tersebut akhirnya digabungkan kembali ketika diangkut oleh petugas kebersihan dan akhirnya tercampur lagi di TPS.
"Jadi infrastrukturnya harus ada. Bukan masyarakat cuma disuruh memilah sampah saja. Masyarakat bakal muak dan kesal kalau sampahnya akhirnya dicampur lagi di TPS," tekan Iman.
Baca Juga: Potret Suram Pengelolaan Limbah Citarum
Ridho Malik Ibrahim, Head of Strategic Services Waste4Change, mengatakan bahwa pengolahan sampah di sekitar sungai adalah sektor yang bisa dijadikan komoditas ekonomi. Sebab, pengolahan sampah adalah upaya yang menghadirkan solusi atas masalah yang ada. Pencemaran di Sungai Citarum adalah masyarakat bagi banyak warga di tujuh kabupaten/kota di Indonesia yang dilaluinya. Termasuk juga bagi warga Jakarta yang mengambil air dari Citarum, melalui PDAM, untuk air minumnya. Tercatat, 80 persen pasokan air minum untuk Jakarta berasal dari sungai terkotor di dunia ini, seperti yang pernah diberitakan National Geographic Indonesia pada 2017 lalu.
Ridho mencontohkan, di Amerika Serikat bidang industri yang tingkat pertumbuhan hasil investasinya paling besar nomor dua adalah pengelolaan sampah (waste management). "Karena secara bisnis, pengelolaan sampah memang bisa jadi komoditas ekonomi," ujarnya.
Prinsipnya, "segala sesuatu yang menyelesaikan masalah, selalu ada jalan untuk me-monetisasi-nya," tegas Ridho dalam acara webinar yang sama bersama Iman. Webinar ini diadakan untuk memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang jatuh setiap tanggal 21 Februari. Tema perayaan HPSN tahun ini adalah “Sampah Bahan Baku Ekonomi di Masa Pandemi”.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR