Pada tahun 2013 Green Cross Switzerland dan Blacksmith Institute juga menyatakan Sungai Citarum sebagai salah satu tempat paling tercemar di dunia. Sungai ini menyegel posisi tiga, hanya kalah dari Agbogbloshie, gunung sampah elektronik di Ghana, dan Chernobyl, kota yang mati akibat radiasi nuklir di Rusia.
Tak hanya Sungai Citarum secara khusus, sungai-sungai Indonesia secara umum juga mendapat predikat yang buruk. Pada 2010, sebuah riset dari tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Jenna Jambeck dari University of Georgia, mencatatkan nama Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah China. Riset tersebut mengestimasi ada lebih dari 3 juta metrik ton sampah plastik di sungai-sungai Indonesia. Sampah plastik ini kemudian menjadi bagian dari polutan yang mencemari lautan dunia.
Baca Juga: Bakal Dapat Pinjaman Rp 1,4 Triliun, Mampukah Citarum Lepaskan Sebutan Sungai Terkotor?
Berdasarkan hasil penelitian Yayasan KEHATI, mayoritas sumber pencemar Sungai Citarum adalah limbah domestik (60%). Sisanya berasal dari limbah industri (30%) dan limbah peternakan/pertanian (10%).
Sebagian besar dari komposisi limbah domestik atau sampah rumah tangga tersebut adalah sampah organik (57%). Sisanya adalah sampah plastik (18%), kertas (11%), tekstil (7%), dan jenis lainnya (7%). Temuan ini menunjukkan pentingnya melibatkan masyarakat sekitar untuk bisa menyelesaikan masalah pencemaran di Sungai Citarum.
Melalui program bertajuk Revive Citarum, Yayasan KEHATI berusaha untuk menggalakkan kegiatan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Desa Bojongsari. "Ini adalah sebuah desa sub-urban, peralihan antara petani menjadi masyarakat kota. Jadi kalau kita pergi ke Bojongsari ini ada karakteristik masyarakat kota, tapi di sana kita lihat masih banyak sekali sawah, empang, dan peternakan. Ini juga adalah perkampungan yang cukup padat yang beberapa tempatnya rawan banjir karena sangat dekat dengan Sungai citarum," tutur Iman, sapaan Imanuddin, di acara Webinar Pengelolaan Sampah Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Aliran Sungai pada Jumat (19/2/2021).
Lokasi Desa Bojongsari berdekatan dengan sejumlah kawasan industri. Sebagian besar adalah industri di bidang tekstil. Mayoritas masyarakat di desa itu berprofesi sebagai petani, tapi ada juga sebagian yang bekerja di industri tekstil tersebut.
Baca Juga: Tercemar Berat, Mungkinkah Citarum Lestari?
Dari hasil survei dan pengidentifikasian masalah di Desa Bojongsari, Yayasan KEHATI melalui mitranya, Green Initiative Foundation, kemudian memberikan pendampingan kepada empat komunitas di empat RW di desa tersebut untuk mulai menyusun alternatif solusi yang mereka perlukan. Yayasan tersebut membantu mempersiapkan infrastruktur yang warga perlukan, tapi kemudian kelompok warga sendiri yang menggunakan infrastruktur tersebut untuk menjalankan solusi penanganan sampah di desa mereka.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR