Nationalgeographic.co.id—Wisdom, seekor burung albatros liar yang dikenal sebagai burung liar tertua di dunia, kembali berulang tahun. Pada 2021 ia bertambah umur lagi dan artinya tahun ini ia sudah berusia 70 tahun.
Wisdom adalah burung tertua dalam sejarah yang tercatat oleh para peneliti. “Saya selalu merasa lega saat Wisdom muncul,” kata Jon Plissner, ahli biologi dari US Fish and Wildlife Service yang mempelajari umur panjang albatros di Midway Atoll National Wildlife Refuge, sekelompok tiga pulau kecil yang terbentuk dari terumbu karang di Pasifik Utara.
Para ilmuwan sudah tahu banyak hal mengenai Wisdom. Mereka tahu Wisdom ditandai dengan pita ikat pada 1956, sebagai bagian dari proyek penelitian jangka panjang mengidentifikasi lebih dari 260.000 ekor burung Laysan albatross sejak akhir 1930-an.
Para ilmuwan pun tahu tempat bersarang favorit Wisdom. Dan mereka juga tahu burung itu bertelur akhir November lalu --seperti yang dia lakukan setidaknya delapan kali dalam 11 tahun terakhir-- dan sebuah telur itu menetas menjadi seekor anak burung berbulu pada tanggal 1 Februari.
Baca Juga: Eksploitasi Perdagangan Satwa Sebabkan Populasi Poksai Mantel Langka
Namun masih banyak hal tentang Wisdom dan spesiesnya yang tidak diketahui para ilmuwan, dimulai dengan pertanyaan yang jelas: Berapa lama dia bisa hidup?
“Kami benar-benar tidak tahu,” kata Plissner kepada National Geographic. “Kami juga tidak tahu apakah dia pengecualian. Dia mungkin yang tertua yang kita tahu."
Selama 15 tahun terakhir, Plissner dan timnya telah menandai kaki anak burung albatros dengan pita bernomor spesifik untuk memberikan lebih banyak informasi tentang masa hidup mereka. Tantangannya, katanya, albatros berumur panjang, sehingga mereka dapat dengan mudah hidup lebih lama daripada para peneliti itu sendiri.
Hal itu terjadi pada Wisdom dan ilmuwan yang menelitinya. Chandler Robbins, ahli biologi USFWS yang mengikatkan pita penanda pada Wisdom meninggal pada 2017 di usia 98 tahun.
Baca Juga: Berkat Konservasi, 48 Spesies Burung dan Mamalia Berhasil Diselamatkan dari Kepunahan
Kini usia Wisdom sendiri diyakini minimal sudah 70 tahun. Sebab, pada tahun 1956, secara konservatif ia diperkirakan berusia lima tahun, usia paling awal ketika seekor burung albatros bisa mencapai kematangan seksual.
Selama bertahun-tahun sebagai burung laut, Wisdom telah berhasil menghindari berbagai bahaya mematikan seperti tsunami dan hiu pemangsa. Selain itu ia telah menghadapi berbagai ancaman baru yang ditimbulkan oleh manusia, seperti pemanasan laut karena perubahan iklim, polusi plastik, dan tali pancing.
Sejak itu, Wisdom telah menjadi kesayangan warga di internet, baik di dalam maupun luar negeri. Khusus di Hawaii, jenis burung Laysan albatross yang dikenal sebagai mōlī, telah menjadi kesayangan tersendiri karena memegang posisi penting dalam budaya asli sebagai simbol dewa Lono, yang mewakili hujan dan pertanian.
Baca Juga: Riset: 65% Sampah Laut di Pantai Imbas dari Sektor Pariwisata
Ketenarannya telah menarik perhatian netizen dan masyarakat dunia pada umumnya akan bahaya yang sedang dihadapi burung-burung laut dan Laysan albatross pada khususnya, kata Beth Flint, ahli biologi satwa liar Fish and Wildlife Service di Honolulu.
"Dia burung dengan masa hidup yang sebanding dengan manusia," kata Flint. “Saya pikir kontribusinya yang terbesar adalah minat yang dia rangsang pada orang-orang. Dia juga menarik lebih banyak orang ke dalam sains."
Kehidupan burung albatros sempat terancam berkurang drastis akibat ulah manusia, meski kini populasi mereka telah mulai membaik. Berdasarkan laman resmi Uni Internasional untuk Konservasi Alam atau International Union for Conservation of Nature (IUCN), tren populasi albatros mulai stabil dan di seluruh dunia diperkirakan ada sekitar 1,6 juta burung albatros.
Meski demikian, mereka masih rentan terkena dampak negatif gaya hidup manusia global. Albatros yang suka memangsa apa pun yang mengambang di atas permukaan air rentan memakan sampah plastik yang telah banyak mencemari laut di seluruh dunia.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR