Nationalgeographic.co.id—Kucing dan anjing adalah hewan yang sering dipelihara di Indonesia. Terbukti dalam survei yang dilakukan oleh World Society for the Protection of Animal (WSPA), terdapat 8 juta populasi anjing, dan 15 juta kucing dipelihara oleh orang Indonesia.
Perkembangannya pun meningkat selama 5 tahun hingga 2007. Proporsinya: 22% pada anjing dan 66% pada kucing.
Meski kucing lebih banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia, tetapi tampaknya ia kerap tak patuh pada majikannya.
Pandji Pragiwaksono, seorang komedian, mengungkapkan keresahannya di penampilan tur komedinya yang ke-5 pada 2019: "Kucing itu ga ngerasa dirinya hewan peliharaan kelihatannya. Lo panggil juga enggak datang. Dia enggak peduli sama lo, [tidak] peduli sama kehidupan lo."
The Dodo, saluran YouTube yang membahas hewan itu, menampilkan konten mengenai tentara yang pulang dan disambut oleh hewan peliharaannya. Pada konten jumpa rindu antara majikan dan hewan peliharaan, hanya diisi antara manusia dengan anjing, tak ada satupun dengan kucing.
Baca Juga: Studi: Bermain dengan Anjing dan Kucing Bagus untuk Redakan Stres
"Tahu enggak kenapa? [Karena kucing-kucing] enggak peduli [dengan majikannya]!" risaunya.
Dua peneliti dari University of Lincoln, Alice Potter dan Daniel Simon Mills, dalam jurnal PLOS ONE mengungkapkan alasannya. Menurut mereka, kucing memiliki sifat yang mandiri, bahkan dalam hubungan sosialnya. Sehingga mereka tidak selalu bergantung pada orang lain untuk mmeberikan rasa keterikatan dan perlindungan.
Meski pada studi sebelumnya, menyebutkan kucing juga menunjukkan kecemasan ketika ditinggal sendiri oleh pemiliknya, seperti yang dilakukan anjing. Tetapi berdasarkan studi yang dilakukan Potter dan Mills, kucing jauh lebih mandiri menghadapi situasi itu daripada anjing.
"Tampaknya apa yang kita tafsirkan sebagai kecemasan akan perpisahan sebenarnya adalah tanda-tanda frustrasi," terang Mills dalam rilis universitas.
Untuk mendapatkan hasil itu, para peneliti mengamati hubungan sejumlah kucing dengan pemiliknya. Mereka juga menempatkan kucing peliharaan itu di lingkungan yang tidak dikenal bersama dengan pemiliknya, dengan orang asing, dan sendirian.
Dalam rangkaian pengamatan, mereka mengamati tiga karakteristik kucing; jumlah kontak yang dicari oleh kucing, tingkat perilaku pasif, dan tanda-tanda kesulitan yang disebabkan absennya pemilik.
Hasilnya, kucing ternyata lebih vokal ketika berhadapan dengan pemiliknya daripada orang asing. Tetapi para peneliti menganggapnya bukan sebagai bukti tambahan yang menunjukkan kucing memiliki ikatan erat dengan pemiliknya.
Baca Juga: Kucing Sama Cerdasnya dengan Anjing
Menurut mereka, vokalnya kucing ini bisa jadi merupakan tanda frustasi atau respon yang dipelajarinya. Tak ada tanda-tanda keterikatannya pada sesuatu yang berhubungan dengan majikannya.
"Di situasi lain, individu [kucing] peliharaan berusaha untuk tetap dekat dengan majikannya, [dengan] menunjukkan tanda-tanda kesusahan ketika mereka berpisah, dan menunjukkan kesenangan ketika sosok keterikatan mereka kembali, tetapi tren ini tidak terlihat selama penelitian kami," ungkap Mills.
Sedangkan dalam pengamatan pada anjing yang dilakukan pada 1998, ternyata anjing menganggap majikannya sebagai tempat berlindung.
"Hubungan anjing dengan manusia dianalogikan dengan perilaku keterikatan anak-orang tua dan simpanse-manusia, karena fenomena perilaku yang diamati dan klasifikasinya mirip dengan yang dijelaskan dalam interaksi ibu-bayi," tulis mereka dalam laporan.
Penelitian itu juga dilakukan lewat metode yang serupa dengan yang dilakukan Mills dan rekannya. Mereka menyebutnya dengan Ainsworth Strange Situation Test (SST).
Mills dan Potter menulis, mungkin kucing lebih suka berinteraksi dengan pemiliknya, tetapi tidak bergantung pada mereka ketika berada di lingkungan atau situasi yang tak dikenalinya.
Para peneliti percaya, sikap apatis mereka pada majikannya merupakan sifat asli speseis mereka yang mandiri dan pemburu yang soliter.
Source | : | PLOS ONE,Jurnal Ilmiah |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR