Jasper seorang asisten residen Tuban dan Cipto Mangunkusumo juga menilai bahwa Saminisme muncul akibat kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang eksploitatif dan memberatkan. Ungkapan mereka dikutip oleh Amrih Widodo dalam Untuk Hidup Tradisi Harus Mati di Majalah Basis edisi Oktober tahun 2000.
Secara pemahaman yang berunsur kebudayaan Jawa dan kepercayaan Kejawennya, Saminisme dicetuskan pertama kali Samin Surosentiko, seorang petani yang menjadi tokoh perlawanan di Blora. Penyebaran paham ini awalnya tersebar dari Klopoduwur, Blora pada 1890 yang tersebar ke beberapa kabupaten seperti Pati hingga Bojonegoro.
"Itu kebetulan saja, Ki Samin Surosentiko enggak kuliah ke Eropa kok. Dia hanya menggali pemahaman Jawa kuno terus dikembangkan tahun 1850-an," kata Pramugi Prawiro Wijoyo, salah satu masyarakat Sedulur Sikap Blora ketika ditemui National Geographic Indonesia (20/03/2021).
Baca Juga: Berkunjung ke Rumah Budaya Desa Sambong
Awal mula pergerakannya melawan kesewenangan bermula dari kelompok masyarakat tani yang tertindas oleh pemerintah Hindia Belanda. Mereka sempat menolak membayar pajak, mengkritisi otoritas--baik era kolonialisme hingga kemerdekaan kini, dan berbicara terus terang.
"Kami kalau melawan enggak pakai kekerasan, karena cara itu selalu gagal seperti yang dilakukan Diponegoro sebelum Ki Samin," Pramugi menjelaskan.
"Cara kami cukup kalau ditanya cukup mbulet (ketus), enggak mau bayar pajak, dan enggan kerja bakti, dan enggak perlu takut."
Gerakan protes mereka terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan Indonesia sangat kental, terlebih jika itu menyangkut masalah lingkungan. Sesuai dengan ajaran Kejawen juga, mereka menyadari bahwa hidup harus selaras dengan alam dan kekuatan rohani.
Untuk itu, masyarakat Samin ingin agar alam dan lingkungan sekitarnya lestari, dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesama, bukan untuk pribadi. Apalagi jika harus dibawa keluar negeri, papar Pramugi.
Secara catatan birokrasi, Pramugi merupakan ketua masyarakat Samin. Ia mengakui bahwa jabatan itu hanya diberikan oleh pemerintah Indonesia yang tak dihendaki dirinya karena tak sesuai dengan falsafah Samin.
Baca Juga: Perpustakaan PATABA, Pengembang Literasi Lokal yang Mendunia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR