Nationalgeographic.co.id—Tetes air terakhir baru terjun dari langit. Uap putih membubung keluar dari lantai hutan, menembus sela-sela ranting dan dedaunan. Gunung Batuangus menjulang di kejauhan, berpayung mega pada puncaknya. Merpati hutan terbang beriringan di atas tajuk hutan di seberang Toka Tamboansela, Bitung, Sulawesi Utara.
Saya menekuk kaki rapat-rapat. Tak ada cukup tempat di atas empat lembar papan yang membentuk bidang satu kali dua meter ini untuk menyamankan badan. Selain saya dan Reynold, fotografer, tempat ini disesaki tas, tripod, kamera, juga tali yang berseliweran mengamankan alat serta badan.
Saya mengintip melalui sela alas yang ditopang rangkaian pipa besi. Kami ada di ketinggian setara dengan empat lantai gedung bertingkat, tepat di bibir lembah. Jantung saya berdegup kencang saat memanjati pipa nan licin.
Matahari merayap ke atas kepala. Saya yang kepanasan mencoreti buku saku sembari sesekali melepas pandangan di antara lembaran ponco yang menutup rapat atas menara. Tiba-tiba suara samar tertangkap telinga. Bagi saya seperti gonggongan anjing: Guk!.. guk!... guk!... Tak lama kemudian, suara berat kepak sayap: wug… wug… wug… datang dari puncak lembah.
Akhirnya tiba juga satwa yang kami tunggu-tunggu. Sepasang julang sulawesi hinggap di pohon ara yang berhadapan dengan menara. Burung berlabel nama latin Aceros cassidix ini meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Si jantan mencapit buah dengan paruh, sementara sang betina menghilang di balik dahan dan rimbun daun.
Baca Juga: Balung Burung Ini Lebih Mahal dari Gading Gajah, Saat Ini Spesiesnya Kritis Menuju Punah
Kadang mereka berdiam, lalu kembali sibuk dengan buah yang berkilau kemerahan. Bisa jadi, orang memandang satwa ini sama seperti semua burung yang hidup di hutan. Padahal, rangkong punya jasa yang besar dalam setiap detak jantung bumi.
“The real carbon superhero adalah rangkong,” tegas Yok Yok Hadiprakarsa, peneliti yang mendalami rangkong sejak 1999. Sekitar 90 persen makanan rangkong adalah buah, sementara sisanya adalah satwa-satwa kecil yang menjadi sumber protein, terutama kala sang betina bersarang.
“Disebut seperti itu karena sebagai pemakan buah, fungsi ekologi utamanya adalah pemencar biji. Dengan begitu, rangkong menjaga kesehatan hutan,” papar pria yang mendapatkan gelar Master of Science dari University of Georgia di Amerika Serikat ini dengan bersemangat. Tidak ada satwa lain yang seefektif satwa ini dalam menyebarkan biji di seantero hutan. Karena selain memiliki ukuran tubuh yang besar, daya terbangnya pun jauh. Hal ini yang membuat rangkong berbeda dari burung lainnya.
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR