Film ini didanai seratus persen dari modal milik orang Indonesia—berbeda dengan film-film sebelumnya. Usmar pernah mengatakan bahwa modal pembuatan film ini diperoleh dari “masyarakat yang mau menanggungkan”.
“Ini menarik karena saat itu film masih menjadi bagian percakapan intelektual,” kata Hikmat. “Dan, film ini dibuat sebagai kesadaran bercakap tentang apa ini bangsa di masa bayinya.”
Meskipun tidak terlalu laku di pasaran, film ini diklaim sebagai film pertama Indonesia. Bahkan pengambilan gambar pertamanya pada 30 Maret 1950 telah diperingati sebagai Hari Film Nasional. Namun, belakangan timbul kontroversi karena sebagian pihak mempertanyakan ketepatan historisnya.
Pada 20 April 2015, film legendaris ini ditayangkan kembali di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, dalam suasan acara mengenang 100 hari wafatnya Sitor Situmorang. Sebuah diskusi bertajuk “Jejak Sitor Situmorang dalam Film Nasional” digelar bersama narasumber JJ Rizal, sejarawan, dan dimoderatori oleh Hikmat Darmawan, pengamat film dan komik. Sitor dikenal sebagai seorang wartawan, sastrawan, penyair, dan kritikus film. Namun, sedikit orang yang mengetahui bahwa Sitor turut menginspirasi film nasional.
Baca Juga: Mata-mata Cilik di Balik Gemilang Serangan Umum 1 Maret 1949
Dalam pengantar diskusi, Hikmat mengatakan bahwa saat itu telah muncul kesadaran untuk membicarakan persoalan Indonesia terkini. “Ini menarik karena saat itu film masih menjadi bagian percakapan intelektual,” kata Hikmat. “Dan, film ini dibuat sebagai kesadaran bercakap tentang apa ini bangsa di masa bayinya.”
“Ini film yang menurut saya nekat pada zamannya,” ujar Rizal. “Tetapi juga film yang sangat luar biasa karena berani-beraninya mempertanyakan sejarah yang belum selesai di umur Republik yang masih sangat muda.”
Akibatnya, film ini sempat menimbulkan polemik besar ketika pertama kali beredar. Polemik tersebut berkisar pertanyaan apakah semua orang Darul Islam—seperti aksi yang ditampilkan dalam film—adalah orang yang murtad dari Republik? Apakah Divisi Siliwangi merupakan satu-satunya yang terhebat? Juga, sosok Kapten Sudarto yang tidak tampak sebagai seorang pahlawan, bahkan terkesan lembek dan melankolis dalam hal perempuan.
Baca Juga: 'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya
Salah satu adegan dalam film Darah dan Doa, menampilkan Kapten Sudarto menaruh hati pada seorang gadis Jerman. Adegan kedekatan dua ras manusia ini tampaknya menampilkan sosok nasionalisme bangsa Indonesia yang tidak mudah terjebak dalam jargon cauvinisme. Sebuah percakapan tentang teladan kebangsaan dalam film.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR