Sejak Belanda menduduki Yogyakarta pada Desember 1948, setiap pukul enam sore sirine digaungkan ke penjuru kota. Saat sirine berbunyi, serdadu KNIL biasanya berpatroli di jalanan kota.
Bersamaan dengan senja yang melingsir, dua gadis masih berjalan di sekitar Alun-alun Selatan, Yogyakarta. Mereka adalah Djuwariyah dan seorang kawan perempuannya dari kesatuan Tentara Pelajar.
Keduanya boleh jadi pejalan yang kemalaman. Namun, mereka bukan sekadar keluyuran. Djuwariyah hendak kembali ke markasnya di Desa Jejeran, dekat dengan Plered. Mereka adalah kurir penyelundupan senjata, yang mendukung para gerilyawan di luar kota. Untuk dapat memperoleh informasi tentang keadaan lawan, saat itu banyak mata-mata Republik untuk mengumpulkan keterangan. Mereka biasanya perempuan, Tentara Pelajar, dan rakyat sipil.
Awalnya Djuwariyah menolak menerima titipan senjata berupa pistol dan pelurunya. “Lha saya itu tidak mau,” kenangnya. “Saya takut, tetapi dipaksa-paksa.”
Namun, kawannya memaksa dirinya untuk membawa senjata itu untuk disampaikan ke markas.
“Kamu ngga kasihan kepada saya, Dju? Kalau nanti di sini saya kena pembersihan Belanda,” ucap Djuwariyah menirukan permohonan kawannya dengan memelas.
“Saya terpaksa menerimanya,” ujarnya. “Kemudian saya taruh di bagian paling bawah. Di atasnya saya kasih bermacam-macam barang—tas, makanan.
Ketika mereka tiba di Alun-alun Selatan itulah sirine kota meraung, tanda jam malam bermula.
“Tahu-tahunya, itu mak mbendunduk…” kata Djuwariyah, “sudah ada Belanda pakai jip di belakang saya.”
Baca Juga: 'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya
Tanpa disangka-sangka, satu jip patroli dengan serdadu-serdadu Belanda sudah berada di belakang mereka. Djuwariyah melihat satu per satu personel di dalam jip itu. Di kemudi depan, terdapat dua orang Koninklijke Landmacht—serdadu bule Belanda. Sementara, salah seorang yang duduk di belakang adalah seorang Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) Jawa.
“Setelah saya mengetahui kedatangan mereka, kayaknya nyawa saya sudah melayang,” kenangnya. “Wahduh, mau gomong apa saya nanti kalau ditanya bawa apa?”
Namun, tampaknya Tuhan masih bersama Djuwariyah. Salah satu KNIL adalah lelaki asal Yogyakarta, sehingga bisa berkomunikasi dengan Djuwariyah.
“Nduk, kowe saka ngendi?” demikian serdadu KNIL menanyakan tujuan perempuan itu.
“Saya disuruh orang tua saya,” jawab Djuwariyah dengan gemetar.
“Kowe nggawa apa kuwi?” demikian si serdadu KNIL menanyakan apa yang dibawa Djuwariyah.
“Ini belanjaan, Tuan,” jawab Djuwariyah mengawali dramanya.
“Ngerti ora kalau sudah ada sirine?”
“Aduh… Maaf Tuan, saya tidak dengar.”
"Kowe arep nang ngendi?
“Mau pulang, Tuan.”
“Rumah kamu di mana?”
“Suryadiningratan.”—kebetulan tidak jauh dari Alun-alun Selatan.
Untuk beberapa saat, KNIL tadi bercakap-cakap berbahasa Belanda dengan serdadu KL.
“Naik-naik!” ujar serdadu KNIL kepada kedua perempuan itu. Ternyata serdadu-serdadu justru meminta kedua perempuan tadi untuk ikut bersama di kabin jip.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR