Perasaan Djuwariyah semakin tidak menentu. Satunjip bersama serdadu musuh, membuat dia yakin bahwa hidupnya segera berakhir. “Tidak ada harapan hidup,” kenangnya. “Sedikit pun tidak ada harapan hidup.”
Namun, Djuwariyah heran. Jip itu membawanya ke arah selatan, yang berarti menuju rumahnya di Suryodiningratan.
“Tak terke ning omahmu,” kata serdadu KNIL tadi bahwa mereka akan mengantar sampai ke rumah kedua perempuan itu.
Ketika jip mendekati rumah Djuwariyah, dia meminta untuk turun sembari menunjuk dengan asal salah satu rumah. Tentu, dia tidak akan memberitahu kepada serdadu-serdadu tadi rumahnya yang sejati. Keduanya turun, lalu jip itu pun melaju kembali ke arah berlawanan untuk melanjutkan berpatroli.
Baca Juga: Sepenggal Kisah Monumen Divisi Tujuh Desember di Jantung Jakarta
“Setelah saya diturunkan, malah saya tidak bisa berdiri,” ujar Djuwariyah dengan mimik jenaka. “Langsung ndeprok di jalan.”
Dia bersimpuh. Pengalamannya bersama serdadu patroli tadi membuatnya ketakutan sampai terkencing-kencing. “Ini sudah basah semua. Saking takutnya saya, sudah tidak bisa berdiri—basah dan [bau] pesing sekali.”
Kawannya segera mengajaknya untuk segera berlari. Namun, dia kesulitan untuk berdiri, alih-alih berlari.
“Berlari bagaimana? Aku tidak bisa berdiri. Kamu jalan duluan ke markas, saya tidak kuat jadi di sini saja,” kata Djuwariyah kepada kawannya.
“Wah tidak bisa begitu, kita hidup dan mati harus bersama,” kawannya menimpali.
Setelah sirene berakhir, suasana jalanan memang senyap. Tidak ada orang satu pun orang yang melintas lewat di jalanan selain patroli Belanda. Kemudian, Djuwariyah pelan-pelan bangkit dan berjalan.
Mereka berjalan blusukan dalam gelap, hanya diterangi cahaya kilat yang datang bersama gemuruh guntur. Demi menghindari jalan raya, mereka rela memintas lewat permakaman di Krapyak, yang luasnya hampir satu hektar. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari tempat mereka diturunkan dari jip tadi. “Mau maju, nendang nisan, mau mundur juga nisan,” kenangnya. “Ngubek-ngubek selama satu jam di kuburan itu mencari jalan keluar.”
Baca Juga: Awal Perjalanan Benteng Kedungcowek Menjadi Pusaka Kota Surabaya
Dia mengisahkan situasi pinggiran Yogyakarta, beberapa minggu sebelum Serangan Umum1 Maret. Karena jalan-jalan sengaja dirusak dan jembatan dibom, semakin panjang waktu yang ditempuh untuk perjalanan menuju ke markas. Mereka berjalan dalam gelap sembari dibayangi rasa takut tertangkap Belanda. Penderitaan ini harus dilalui bersama bawaan berat sejauh 15 kilometer.
“Jalan-jalan dibuat rintangan. Pohon-pohon ditebang untuk menghalang-halangai jalan,” kenangnya. Saat menjumpai pohon besar yang melintang, mereka harus melewatinya. Saat menjumpai jembatan yang miring karena sudah dibom, mereka menuruni lembah dan merayapi bukit di seberangnya. “Sampai di markas itu paling tidak jam sepuluh.”
Seringkali Djuwariyah mengenang kembali peristiwa yang harus dilaluinya meski harus bertaruh nyawa pada masa silam. Dia sungguh berlega hati karena masih menyaksikan dinamika zaman. "Seringkali saya di rumah itu sering mengenang, waktu dulu seperti itu," ungkapnya. "Sekarang masih bisa mengenang terjaning jaman."
“Saya bersyukur masih bisa bertemu dengan anak cucu saya ini. Saya masih bisa bercerita. Saya mohon doanya juga, mudah-mudahan saya masih diberikan umur panjang lagi dan saya masih bisa memberikan cerita-cerita hidup saya...”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR