Nationalgeographic.co.id—Bayi bekantan berjenis kelamin jantan baru saja lahir pada 15 Maret 2021 lalu di Bali Safari Park.
Bayi bekantan ini lahir dari pasangan induk Agustin (betina) dan Genta (pejantan). Yohana Kusumaningtiyas, tim dokter hewan Taman Safari Indonesia mengatakan pada rilisan pers, bahwa kelahiran bayi bekantan ini berjalan lancar dan diasuh baik oleh induknya.
Agustin mengalami kehamilan kurang lebih 6,5 bulan. Sejak awal kehamilan kondisi Agustin selalu dipantau oleh perawat satwa, dokter hewan, serta asisten kurator. Kondisi kehamilan dan kesehatan Agustin juga diperiksa setiap harinya.
"Kami memberikan perawatan terbaik dan pakan berkualitas berupa dedaunan dan buah-buahan untuk indukan bekantan selama masa kehamilan hingga menyusui. Umumnya bayi bekantan masih menyusui sejak kelahiran hingga usia 6 bulan," kata Yohana.
Pada saat ini bayi bekantan yang baru lahir berada di kondisi sehat dan diasuh baik oleh induknya. Dengan bertambahnya saty ekor bekantan, maka jumlah total bekantan di Bali Safari menjadi lima ekor. Terdiri dari tiga jantan dan dua betina.
Baca Juga: Memata-matai Kawanan Bekantan di Hutan Mangrove Teluk Semanting
Bekantan dikenal dengan sebutan Monyet Belanda karena memiliki bentuk untik pada hidungnya. Wajahnya terlihat bersemu merah dengan rambut coklat kemerahan. Perutnya yang buncit disebabkan kebiasan mereka yang suka makan jenis dedaunan, sehingga menghasilkan gas saat dicerna. Ciri utama yang membedakan bekantan dengan monyet lainya adalah hidung panjanya yang besar pada spesies jantan.
Di Kalimantan, dapat ditemukan dua jenis bekantan. Pertama Nasalis larvatus larvatus, yang ditemukan hampir seluruh Pulau Kalimantan.
Sedangkan Nasalis larvatus orientalis terdapat di bagian timur laut dari Pulau Kalimantan saja. Biasanya mereka tinggal di hutan bakau, rawa, dan hutan pantai.
Berdasarkan keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 29 Tahun 1990, bekantan ditetapkan sebagai fauna identitas provinsi Kalimantan Selatan. Namun saat ini, populasi bekantan terus menurun dan masuk daftar merah IUCN akibat perburuan liar dan luasan hutan yang berkurang.
Source | : | PRESS RELEASE BALI SAFARI |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR