“Yang menjadi soal ialah cara memproklamasikan kemerdekaan itu. Di sini terdapat dua paham yang prinsipiil bertentangan,” tulis Hatta. Dua paham bertentangan yang dimaksudkan olehnya adalah paham revolusioner para pemuda dan paham yang dimiliki oleh kedua pemimpin negara tersebut.
Keadaan sempat memanas tatkala pemuda yang diwakili oleh Subadio Sastrosatomo dan Subianto mendatangi rumah Hatta pada 15 Agustus 1945 silam.
“Lebih dari setengah jam kami bertengkar, masing-masing mencoba meyakinkan yang lain, tetapi tidak berhasil,” ujar Hatta yang masih mempertahankan pendiriannya. “Keduanya menegaskan pendirian mereka yang disebut revolusioner. Saya mempertahankan pendirian yang rasionill yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma.”
Jika dikaitkan kembali dengan kekhawatiran para pemuda akan pengaruh Jepang kepada kedua pemimpin negara atas Proklamasi Kemerdekaan, namun di hari yang sama keduanya dibawa kembali ke Jakarta. Begini Hatta mencoba meluruskannya.
Dirinya dan Soekarno ditahan oleh Sukarni, lelaki yang memimpin para pemuda di Rengasdengklok itu pada 16 Agustus 1945. Namun pukul 6 malam, Sukarni memberitahukan kedatangan Mr. Soebardjo yang diminta Gunseikanbu untuk membawa Soekarno, Hatta, Fatmawati, bayi Guntur, dan Residen Sutardjo ke Jakarta kembali.
Baca Juga: Bung Hatta: Stalin Memarahi Semaoen Karena Konvensi Nasionalis
Kepada Sukarni, Soebarjo pun mengatakan, “Buat apa pemimpin-pemimpin kita berada di sini, sedangkan banyak hal yang harus dibereskan selekas-lekasnya di Jakarta.”
“Kalau untuk saya, saya lebih senang beristirahat di sini sampai besok pagi,” ujar Hatta. “Besok pagi saja kita pulang. Semuanya sudah terlambat. Kerja yang seharusnya selesai tadi pagi, tidak jadi dikerjakan.”
Fatmawati, istri Soekarno menjadi orang pertama yang menolak gagasan Hatta tersebut. Ia mengkhawatirkan kondisi bayinya, Guntur yang stok susunya telah habis hari itu. “Ayo Bung, kita pulang sekarang juga,” tegas Fatmawati yang gagasannya juga didukung Soekarno dan Sutardjo.
Kabar burung yang terdengar bahwa rakyat membakari rumah-rumah orang Tionghoa akibat pemandangan langit di sebelah Barat yang memerah, nyaris mengurungkan niat mereka untuk kembali ke Jakarta.
Namun perjalanan ke Jakarta tetap dilanjutkan tatkala supir yang disuruh memeriksa keadaan oleh Soekarno kembali dan mengatakan, “Itu hanya rakyat yang membakar jerami.”
Baca Juga: Soekarno dan Sumbangsih Wanita Kupu-Kupu Malam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR