Adopsi konsep juga dinilai dianggap diperbolehkan, dengan syarat tak mengganggu paham akidah Islam.
"Kesinambungan konsep ruang ini saya amati terus berlanjut, seperti konsep Mahamerus sebagai pusat alam semesta, konsep Triloka--yang membagi tiga dunia, konsep Dewa Penjaga Mata Angin, dan Catuspatha," paparnya.
Konsep-konsep itu sebenarnya sudah dikenal di era Hindu-Buddha di Jawa, terutama di masa akhirnya, Kerajaan Majapahit.
Dalam paham Hindu-Buddha di Nusantara, masyarakat kerajaan mengenal penyakralan gunung. Kemudian diadopsi di periode Islam. Ia memberi contoh penyakralan tersebut lewat tempat makam para wali di gunung, dan keraton yang memiliki wilayah kuasa di sana.
"[Kesultanan] Cirebon sendiri--dekat tempat asal saya, mereka mengacu pada Gunung Ciremai yang ada di belakangnya. Itu dianggap sakral," ujarnya.
Baca Juga: Mudik Lewat Cirebon, Ini 5 Kuliner Khas untuk Berbuka Puasa
Pada konsep Triloka yang berdampak pada sistem tata ruang Kerajaan Hindu-Buddha pun diadopsi. Ia menyebut bagaimana sistem tata ruang keraton berbagai kesultanan di Jawa masih mengikuti Majapahit.
"Disadari atau tidak, tetap terlihat dalam penatapan keraton-keraton di Jawa. Coba kita lihat di Cirebon, pembagian triloka jeroan depan, belakang itu sangat nyata," jelasnya.
Konsep itu meletakkan pasar di sisi utara keraton, sama halnya dengan yang ada di Jogja, pasar Beringharjo. Meski kentara dan bukan prinsipnya, itu adalah simbol bahwa sisi utara selalu identik dengan dunia kehasratan.
Tata ruang ini juga kentara dengan konsep Astadikpala (Delapan Dewa Penjaga Mata Angin), yang terlihat dengan konsep pintu utama keraton dan alsafah peletakan bangunan kerajaan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR