“Tapi, khusus soto Bapak nggak pernah pake minyak samin, beda sama soto betawi biasanya. Bapak juga nggak pake air bekas rebusan daging, karena nggak mau lemak-lemak dari daging ada di soto. Pengennya emang lebih sehat,” kata Baedowi.
Ketika ditanya langsung tentang pengaruh-pengaruh bangsa asing dalam masakannya, Baedowi merasa tidak banyak tahu. Yang ia tahu hanyalah bagaimana Pak Yus mengajarkan padanya cara membuat soto yang baik dan enak.
Baedowi kemudian terharu. Ia menceritakan bahwa dari Pak Yus-lah, ia belajar tidak hanya meracik soto, tapi juga makna hidup.
“Bapak itu beda sama orang dagang kebanyakan. Beliau ngajarin saya supaya dermawan, dagang bukan untuk dunia saja. Beliau bilang, ‘Jangan sekali-sekali bilang hanya maaf untuk orang yang meminta-minta. Mereka meminta-minta pasti tidak punya. Urusan nanti diapakan uangnya, terserah mereka. Asal kita bantu dulu.’,” tutur Baedowi.
Baca Juga: Sepenggal Kisah Monumen Divisi Tujuh Desember di Jantung Jakarta
Ketakutan terbesar ketika seorang peracik legendaris meninggal dunia adalah ketika tidak adanya penerus yang melanjutkan harta karun resepnya. Ketakutan akan punahnya resep berharga bagi mantan tukang becak bernama Mulus, mungkin sudah tidak ada lagi. Ia punya Baedowi yang berencana terus komitmen untuk konsisten pada resep asli.
Akhirnya, meskipun tidak sadar, Pak Yus dan Baedowi telah melestarikan tradisi Betawi dengan terus meracik bermangkuk-mangkuk soto lezat sejak 1970-an. Dari semangkuk soto, tergambar keragaman yang memengaruhi budaya Betawi dan Jakarta. Hingga akhirnya, semua elemen dari Tiongkok, Portugis, Arab, dan lain-lain berjalin-padu menjadi hidangan gurih nan lezat.
—Artikel ini pernah terbit dengan judul Jakarta dalam Semangkuk Soto pada 27 Juli 2016.
Bukan Perubahan Iklim yang Pengaruhi Gunung Es Terbesar di Antartika, Lalu Apa?
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR