Pilihan isi berjajar di atas meja; daging sapi, sumsum, iso, ati, paru, kikil, babat, sampai lidah. Irisan daun bawang berkumpul dalam sebuah wadah, berdampingan dengan pelengkap lain yaitu tomat, nasi, dan sepanci besar kuah yang terbuat dari campuran berbagai bumbu, seperti lada dan jahe, serta susu.
“Sejak 1970-an sampai sekarang, resep soto ini masih tetap sama. Nggak ada yang berubah,” ucap Baedowi yang lahir di Tegal, 30 Juni 1968.
Berdasarkan resep dari sang paman, Pak Yus memilih susu daripada santan untuk campuran kuah sotonya sejak awal. Ketika saya bertanya tentang mahalnya susu, Baedowi tertawa.
Soto berasal dari kuliner Cina peranakan di Semarang yang dikenal dengan nama “caudo”. Ketika masuk ke Betawi, soto kemudian mendapat pengaruh lain dari berbagai bangsa yang datang ke kota ini untuk berdagang.
“Itu sudah risiko. Karena Bapak itu lebih mentingin rasa. Kalo pake susu, rasanya lebih enak, nggak bosan. Lagian, lebih sehat karena nggak kolesterol.”
Semangkuk soto terhidang di dalam nasi putih. Wangi susu menguar di udara. Segera setelah ia tiba di meja, pikiran menggila dan air liur membuncah. Rupanya, syaraf pada lambung dan usus ngebut mengirimkan informasi ke otak. Artinya, nafsu makan langsung tinggi.
Baca Juga: Mencerna Kembali Pesan Banjir dari Leluhur Jakarta
Kuliner Betawi, termasuk soto, adalah bukti nyata hasil perpaduan berbagai budaya, seperti Tiongkok, Arab, Melayu, dan Portugis. Perpaduan ini mempengaruhi pemilihan bahan-bahan dan bumbu-bumbu dalam sebuah hidangan Betawi menjadi seperti yang saat ini kita kenal, seperti soto betawi.
Beberapa literatur, seperti Nusa Jawa: Silang Budaya karya Dennys Lombard, menyatakan, soto berasal dari kuliner Cina peranakan di Semarang yang dikenal dengan nama “caudo”. Ketika masuk ke Betawi, soto kemudian mendapat pengaruh lain dari berbagai bangsa yang datang ke kota ini untuk berdagang.
Seperti, kuah soto betawi merupakan pengaruh dari India, karena serupa dengan hidangan kari khas negeri tersebut. Lalu, pengaruh minyak samin yang berasal dari Arab.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR