Penelitian tersebut menyelidiki otak dari 40 anak yang pernah dipukul dan membandingkannya dengan sampel 107 anak yang tidak pernah dipukul. Setiap anak diminta untuk menjelaskan apakah mereka pernah dipukul di masa lalu atau tidak, dan juga dinilai apakah mereka pernah mengalami pelecehan seksual atau pelecehan fisik yang serius.
Setelah dipisahkan menjadi beberapa kelompok, para peserta ditempatkan di bawah pemindai MRI dan diperlihatkan wajah para aktor yang menunjukkan emosi yang berbeda untuk periode waktu yang berbeda-beda untuk melihat aktivitas otak masing-masing anak. Anak-anak yang dipukul menunjukkan aktivitas saraf yang lebih besar pada wajah yang "ketakutan", dan ini juga terlihat pada anak-anak yang mengalami pelecehan serius, dengan tidak ada perbedaan aktivitas otak di antara kedua kelompok tersebut.
Perbedaan reaktivitas ini menunjukkan kesamaan yang kuat dalam perkembangan anak-anak yang mengalami pelecehan dan anak-anak yang dipukul. Namun perekembangan otak kedua kelompok itu berbeda dari mereka yang tidak pernah dipukul.
"Meskipun kita mungkin tidak mengkonseptualisasikan hukuman fisik sebagai bentuk pelecehan, dalam hal bagaimana otak anak merespons, itu tidak jauh berbeda dengan pelecehan," kata McLaughlin.
Studi ini memiliki beberapa batasan, antara lain para peneliti tak mengukur seberapa parah anak-anak tersebut dipukul. Selain itu, studi ini juga tidak menjelaskan mengapa perbedaan ini terlihat antara anak-anak yang dipukul dan tidak dipukul, yang mungkin akan menjadi objek penelitian di masa mendatang.
Bagaimanapun, studi ini adalah sebuah riset yang penting yang menyoroti beberapa perbedaan dampak perkembangan penting anak dari hasil seluruh gaya pengasuhan anak.. Studi ini mengajukan gagasan bahwa hukuman fisik pada anak tak jauh berbeda dari bentuk pelecehan anak.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Source | : | IFL Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR