Nationalgeographic.co.id—Pada Oktober 2020 para ilmuwan teknik mesin dari Purdue University mengumumkan telah menemukan cat ultra-putih yang dapat digunakan untuk menjaga seluruh bangunan tetap dingin. Tahun 2021 pertengahan April ini, mereka mengumumkan lagi telah berhasil membuat cat yang disebut sebagai "cat paling putih di dunia".
Sebuah laporan dari IFL Science mengatakan bahwa terobosan pada 2020 tersebut mendorong para peneliti tersebut pada strategi baru untuk memerangi pemanasan global. Inilah alasan para ilmuwan untuk menemukan cat yang lebih putih.
Cat ultra-putih ini, seperti yang dijelaskan dalam laporan studi para peneliti terbit di jurnal ACS Applied Materials & Interfaces, dianggap sebagai kebalikan dari apa yang disebut vantablack, cat yang menyerap 99,9 persen cahaya. Cat ultra-putih ini dapat memantulkan hampir 99 persen cahaya yang menerpanya.
Cat ini memantulkan begitu banyak cahaya sehingga permukaan yang dilukis menggunakannya menjadi lebih dingin dibandingkan dengan suhu lingkungan di sekitarnya.
Baca Juga: Dalam Enam Bulan 10 Juta Orang Terpaksa Mengungsi karena Bencana Iklim
Cat yang diluncurkan pada Oktober tahun lalu, seperti dilaporkan di Fast Company, didasarkan pada kalsium karbonat atau CaCO3, mineral yang digunakan untuk membuat kapur. Zat ini memiliki reflektansi sekitar 96,5 persen. Artinya, kurang dari lima persen sinar matahari yang menerpa akan terserap oleh cat.
Adapun yang baru dikembangkan ini, seperti dilansir Science Times, menggunakan barium sulfat. Ini adalah material yang sudah biasa digunakan secara komersial dalam membuat kosmetik dan kertas.
Tim peneliti memperkirakan bahwa 98,1 persen sinar matahari akan terpantulkan kembali oleh cat baru yang lebih putih ini. Ini berarti hanya 1,9 persen panas yang akan terserap.
Menurut Profesor Xiulin Ruan dari Purdue University, penulis senior studi tersebut, dalam eksperimen mereka, cat baru memiliki kekuatan pendinginan dua kali lipat dari cat putih yang ditemukan sebelumnya.
Baca Juga: Gunung Es Seluas Dua Kali Jakarta Lepas, Singkap Misteri Antartika
Pengujian menunjukkan bahwa pada siang hari yang terik, material yang dilapisi cat baru ini jadi lebih dingin 4,4 derajat Celsius dibandingkan suhu lingkungan. Kemudian, pada malam hari, material tersebut mempertahankan suhu 10,5 derajat Celsiun lebih rendah daripada lingkungan sekitarnya.
Kemampuan mendinginkan yang tidak biasa ini dapat dianggap sebagai pengubah permainan (game changer) dalam memerangi pemanasan global. Cat ini bisa diaplikasikan pada bangunan yang sejuk daripada menggunakan AC.
Profesor Ruan dari kampus yang sama menjelaskan bahwa AC konvensional sering kali mengonsumsi daya dengan menggunakan bahan bakar fosil. Meski membuat suhu dalam ruangan jadi lebih dingin, alat semacam ini ini sebenarnya mengubah listrik menjadi panas dan meninggalkan suhu yang lebih tinggi ke lingkungan dan Bumi.
Adapun cat yang diklaim sebagai cat paling putih di dunia ini tidak menghabiskan daya apa pun. Cat ini secara langsung memantulkan seluruh panas ke luar atmosfer sehingga membantu mendinginkan Bumi.
Baca Juga: Tiga Jenis Babi Unik di Indonesia: Babi Berjanggut hingga 'Bercula'
Berdasarkan model sebelumnya, pengecatan 0,5-1 persen permukaan Bumi, seperti jalan, atap rumah, mobil, dan lahan tak terpakai, dengan cat baru ini akan menghentikan tren pemanasan global.
Mengecat bagian permukaan bumi itu mungkin cukup sulit dilakukan. Meski demikian, penggunaan cat pada bangunan-bangunan buatan manusia masih dapat memberikan efek yang besar.
Tim peneliti telah menunjukkan bahwa cat barium sulfat ini dapat dipakai untuk mengenat bagian luar ruangan. Selain itu, proses pembuatan cat ini juga telah sesuai dengan standar cat komersial.
Hak paten kini telah diajukan untuk cat baru ini. Jadi jika nantinya cat ini telah tersedia untuk penggunaan komersial, cat paling putih di dunia ini dapat menjadi solusi sederhana dalam memerangi dan mengurangi masalah kompleks pemanasan global.
Baca Juga: Satu Tahun GRID STORE: Tersedia Layanan Pelanggan Majalah-el Berdiskon
Source | : | Fast Company,IFL Science,Science Times |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR