Nationalgeographic.co.id—Turut berduka yang sedalam-dalamnya kepada dunia literasi Indonesia. Bahwa ada tokoh fiksi karismatik bernama Ali Topan yang keren sebelum adanya Boy, Rangga, dan Dilan.
Sang penulis, Teguh Esha, meninggal hari ini 17 Mei 2021 sekitar pukul 07.23 WIB di RS Dr Suyoto, Bintaro. Seolah menjadi takdir, beliau wafat pada peringatan hari buku nasional.
Yusuf Hikmah Adrai, anaknya, memberi keterangan bahwa Teguh sudah kritis sejak subuh dini hari dan meninggal karena positif COVID-19. Sambil berlimpah air mata Yusuf berkata melalui telepon. "Maafin bapak, ya," kata Yusuf kepada National Geographic Indonesia.
Saya beberapa kali bertemu dengan Teguh Esha di rumahnya, Bintaro atau berpapasan di kawasan Bulungan-Mahakam, Jakarta Selatan. Kami larut pada diskusi-dikusi soal manusia, kehidupan, alam semesta, dan Tuhan yang berpegang pada pondasi-pondasi filsafat ilmu.
Saya mengenal anaknya terlebih dahulu karena satu sekolah di SMAN 6 Jakarta angkatan 2012. Bersama Teguh, kami juga memiliki kesamaan karena beliau adalah lulusan SMAN 9 sebelum akhirnya menjadi SMAN 70 Jakarta.
Sepengelihatan saya, beliau adalah tokoh yang amat dikagumi di Bulungan. Karena jasa-jasanya kepada anak jalanan di sana. Terutama di Warung Apresiasi (Wapres).
Akan tetapi saya tidak akan bercerita bagaimana kisah heroiknya yang banyak membantu anak jalanan. Tapi bagaimana sudut pandangnya ketika berusia lanjut setelah pertemuan kami di masa silam (2012-2015).
Baca Juga: Sains Singkap Mumi Anak-anak yang Menjadi Korban Virus Cacar Tertua
Pada suatu malam di rumahnya, kira-kira tahun 2015, kami berbicara soal kehidupan. Dari bobot bicaranya, ia adalah orang yang penuh literasi. Kaya akan ilmu pengetahuan. Setiap ucapanya bermakna.
Beliau bercerita tentang kisah muda, perlawananya terhadap ketidakadilan dengan keyakinannya yang gigih pada dunia literasi. Kami juga membicarakan Marx, Muhammad, dan tokoh-tokoh lainya. Saat itu saya hanya mendengarkannya. Menyimak baik-baik apa isi kepalanya.
Menurut pandangan saya, Teguh Esha di masa tua adalah sosok yang menjunjung tinggi Tuhan. Tanpa membedakan golongan dan amat toleran kepada umat beragama.
Beliau membedah Al-Qur'an sampai ke dalam-dalamnya. Memaknainya dengan setulus hati dan menyandingkan dengan logika pengetahuan yang dia punya.
Yusuf dengan nada bercanda pernah bilang kepada saya. "Bapak bukan Marxis, Liberalis, atau Islamis. Tapi Allah-is." Saya mencoba memahaminya, bahwa Teguh Esha menemukan sendiri arti mencintai Tuhan yang berpaku pada Al-Qur'an.
Beliau adalah sosok yang penyayang. Selalu memberikan edukasi kepada siapapun. Terutama nilai-nilai untuk bertahan hidup dan berpegang teguh pada pendirian.
Baca Juga: Sutan Muhammad Amin, Salah Satu Tokoh Sumpah Pemuda yang Berjasa
Teguh Esha lahir di Banyuwangi 8 Mei 1947. Beliau pernah menjadi Wapemred majalah Sonata dan pendiri majalah Le Laki.
Menurut laman Indonesianfilmcenter, karya-karya Teguh dalam fiksi adalah cermin realitas pada masanya. Termasuk Ali Topan. Pada 1977 penerbitan Ali Topan Anak Jalanan meledak. Popularitasnya kiat meningkat karena munculnya film bertajuk sama dengan bintang utama Junaedi Salat dan Yati Octavia.
Ia juga sempat menerbitkan karya fiksi yang menyentuh bidang jurnalistik yakni Ali Topan Wartawan Jalanan pada tahun 2000 yang direvisi dari judul sebelumnya pada 1978 Ali Topan Detektif Partikelir terbitan Cypress.
Selamat jalan Teguh Esha, selamat jalan Ali Topan. Semoga karya-karya mu abadi sepanjang masa. Berikut adalah sepenggal kata yang ada di Ali Topan Wartawan Jalanan.
Ali Topan bukan sekadar gaya
Ia adalah jiwa
Berontak untuk bebas
Masa depan taruhannya
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Pengalaman Pribadi Fikri Muhammad,Wawancara Yusuf Hikmah Adrai,Indonesianfilmcenter |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR