Nationalgeographic.co.id—Sulawesi, yang wilayahnya berada di daerah tropis khatulistiwa, merupakan rumah bagi beberapa seni cadas (lukisan dinding gua) paling awal yang pernah diketahui. Namun, pelapukan yang terjadi pada batuan di dinding-dinding gua tersebut berlangsung sangat cepat akibat perubahan iklim.
Dalam sebuah studi terbaru yang terbit di jurnal Nature pada 13 Mei 2021, tim peneliti arkeologi internasional yang dipimpin oleh Jillian Huntley menyajikan bukti haloklasti (kristalisasi garam) dari panel-panel seni cadas dari zaman Pleistosen di 11 lokasi di karst kapur Maros-Pangkep di Sulawesi Selatan. Huntley adalah arkeolog yang terafiliasi dengan Griffith Centre for Social and Cultural Research dan Place, Evolution and Rock Art Heritage Unit (PERAHU) di Griffith University, Australia.
Studi mereka menunjukkan betapa cepatnya panel-panel seni cadas tersebut mengalami degradasi dalam beberapa dekade terakhir. Mereka menyatakan bahwa "perkembangan garam yang dikatalisis oleh iklim bertanggung jawab pada meningkatnya pengelupasan permukaan gua-gua batu kapur yang menampung lukisan-luksan berusia antara 45 ribu hingga 20 ribu tahun tersebut."
"Efek perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia semakin terlihat melalui bencana lingkungan di seluruh dunia. Meskipun kesehatan dan keamanan manusia telah menjadi fokus penelitian, perubahan iklim juga berdampak pada kelangsungan hidup jangka panjang sisa-sisa fisik dari masa lalu manusia, warisan budaya kita," tulis mereka dalam laporan tersebut.
"Di sini kami berpendapat bahwa fluktuasi iklim selama ribuan tahun terakhir dan terutama dalam beberapa dekade terakhir, telah, dan semakin meningkat, menjadi katalis utama untuk kemunduran seni gua Pleistosen di Maros-Pangkep, kawasan karst batu kapur di Pulau Sulawesi, Indonesia," lanjut mereka lagi.
Penanggalan berdasarkan peluruhan uranium pada senin-seni cadas yang ditemukan di gua-gua dari karst dataran rendah dekat pantai ini telah menunjukkan bahwa lukisan-lukisan purba di sana adalah yang paling awal diketahui daripada lukisan-lukisan batu mana pun di planet ini. Dengan lebih dari 300 gua/situs perlindungan di wilayah yang diketahui melestarikan seni parietal gaya Pleistosen ini, jelas bahwa kumpulan seni cadas di Maros-Pangkep ini menyaingi seni gua 'zaman es' yang terkenal di Eropa Barat, di mana para akademisi hingga saat ini menganggapnya sebagai yang tradisi seni gua tertua yang pertama kali muncul.
Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?
Dalam studi ini, para peneliti menemukan bahwa proses pengelupasan, yang menghancurkan permukaan batuan atau "kanvas" tempat seni Pleistosen Akhir tersebut diciptakan, tampaknya telah memburuk di Maros-Pangkep dalam beberapa dekade terakhir —sebuah tren yang mereka yakini akan makin memburuk ke depannya akibat suhu lingkungan yang makin panas.
"Tingkat kemekaran garam di 11 situs Maros-Pangkep yang kami selidiki, ditambah dengan prakiraan konservatif untuk kenaikan suhu global sebesar 1,5 hingga 2°C dan beserta peristiwa-peristiwa cuaca ekstrem, memiliki implikasi besar bagi pelestarian warisan budaya yang penting secara global ini," tulis mereka.
Selain penambangan batu kapur untuk industri semen dan marmer domestik yang sedang berkembang di wilayah setempat, menurut mereka, pemanasan global harus dianggap sebagai ancaman terbesar bagi pelestarian seni cadas kuno yang bertahan di Sulawesi dan bagian lain dari wilayah Indonesia tropis tersebut.
Baca Juga: Lukisan Cadas 45.500 Tahun Asal Sulawesi Jadi Temuan Tertua di Dunia
Bentang alam karst Maros-Pangkep sendiri mencakup area seluas sekitar 450 kilometer persegi, terletak antara 4° 7′ Lintang Selatan dan 5° 1′ Lintang Selatan. Wilayah ini berlokasi di dataran aluvial dekat dengan garis pantai barat semenanjung barat daya Sulawesi, dibatasi ke timur oleh pegunungan vulkanik.
Lebih dari 300 situs gua atau tempat perlindungan batu yang menyimpan gambar parietal telah didokumentasikan di kawasan karst ini, dengan situs seni cadas baru ditemukan setiap tahun selama survei lapangan yang sedang berlangsung.
Menurut para peneliti, karya-karya seni purbakala ini berlokasi di kawasan paling dinamis di dunia, domain monsun Australasia. "Meningkatnya frekuensi dan keparahan kekeringan yang disebabkan El Niño dari perubahan iklim antropogenik (yaitu, suhu lingkungan yang lebih tinggi dan hari-hari kemarau yang lebih panjang), dikombinasikan dengan kelembaban musiman yang disuntikkan melalui hujan monsun yang menciptakan genangan air di sawah dan kolam budidaya di wilayah tersebut, semakin memberikan kondisi ideal untuk penguapan dan haloklasti, mempercepat kerusakan seni cadas tersebut," simpul mereka.
Source | : | Nature |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR