Menurut Leo Suryadinata lewat bukunya, Dilema Minoritas Tionghoa (1984), peranakan Tionghoa adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia, dan sudah kehilangan bahasa Tionghoanya.
Lebih rincinya, peranakan Tionghoa biasanya adalah anak dari ayah Tionghoa dan ibu non-Tionghoa.
Sedangkan totok adalah mereka yang lahir di Tiongkok dan masih fasih berbahasa, dan biasanya merupakan migran pasca perang dunia kedua.
Dalam forum yang sama, Leo menyebut bahwa asal-usul Tionghoa di Indonesia sejatinya adalah peranakan. Sebab di masa lalu, banyak Tionghoa dari Fujian dan Guangzhou datang untuk berbagai urusan, tetapi karena masalah budaya dan moda transportasi yang jarang dan lambat, akibatnya mereka kawin dengan orang lokal.
"Mereka itu umumnya laki-laki. Sekalipun sudah menikah juga tidak membawa istri," jelasnya. "Mereka datang ke Hindia Belanda atau ke Nusantara, itu kawin dengan wanita lokal. Kemudian mendirikan rumah tangga sendiri, dan keturunannya membuat masyarakat peranakan Tionghoa."
Baca Juga: Kung Fu: Senjata Tionghoa Merebut Kemerdekaan dan Melawan Penjajahan
Lambat laun, peranakan ini memiliki ciri yang berlainan dengan ayahnya. Mereka tidak fasih berbahasa Tionghoa, tak bisa mengikuti dialek, dan lebih cenderung menggunakan bahasa Melayu percakapan utama.
"Identitasnya pun berubah," tambahnya "Misalnya, orang Tionghoa itu tidak menunjuk asalnya ke Tiongkok, tapi ke daerah ia dilahirkan, seperti peranakan Surabaya, peranakan Banjarmasin, biarpun keturunan, Hakka, tetapi bilangnya saya ini Bangka Belitung, atau Kalimantan."
Tionghoa totok baru ada ketika Tiongkok membuka pintu untuk merantau pada 1923, termasuk ke Nusantara. Kedatangan mereka membawa keluarga dan istrinya, sehingga kebahasaannya masih Tionghoa asli, dan berkumpul.
Kelompok ini biasanya disebut 'singke', yang cenderung memiliki konotasi yang buruk. Masyarakat totok ini kemudian mendirikan sekolah Tionghoa, yang kemudian membuat peranakan juga turut belajar di sana.
Baca Juga: Usaha Etnis Tionghoa Menginspirasi Gerakan Kemerdekaan Indonesia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR