Namun, terkadang burung-burung itu tak dikeluarkan isi perutnya. Hal ini memberikan peluang bagi para peneliti untuk melihat sekilas ke salah satu kehidupan burung yang utama sebelum burung itu mati.
Para ilmuwan melakukan otopsi virtual pada mumi burung, berlabel SACHM 2575, dari Iziko Museum Afrika Selatan di Cape Town. SACHM 2575 dipindai menggunakan CT (computed tomography) pencitraan dan para peneliti menciptakan gambar tiga dimensi dari burung.
Berdasarkan morfologi, pengukuran anggota tubuh dan bentuk paruh, mereka menyatakan bahwa burung itu merupakan burung Alap-alap Eropa (Falco tinnunculus) jantan.
Karena tak melalui proses pengeluaran isi perut untuk mumifikasi, para ilmuwan dapat melihat ke dalam saluran penceraan untuk mengetahui makanan terakhir burung itu.
Baca Juga: Sains Menghidupkan Kembali Nebiri, Mumi Mesir Kuno Berusia 3.500 Tahun
Mereka menemukan ekor tikus rumah muda (Mus musculus), yang tampaknya telah menyebabkan alap-alap tersedak sampai mati. Melihat lebih jauh ke dalam tenggorokan dan perut, mereka menemukan fragmen tikus lainnya, termasuk 27 gigi yang terpisah, menunjukkan bahwa alap-alap yang makan lebih dari satu tikus pada hari sebelumnya. Mereka juga menemukan bagian dari burung gereja kecil.
“Ketika kami melihat seberapa banyak Alap-alap makan dan bagaimana ia tersedak, kami mendapatkan sebuah pemikiran tentang bagaimana Mesir kuno berhasil memumifikasi begitu banyak pemangsa dan indikasi adanya penangkaran hewan liar dan kemungkinan perburuan dengan elang telah dilakukan di Mesir kuno,” kata Prof Ikram.
Baca Juga: Temuan Mumi Burung di Gurun Atacama Chile Singkap Sisi Gelap Manusia
“Kami tahu bahwa pemangsa liar penting secara religius, tapi sangat menarik untuk memikirkan bahwa mereka mungkin telah melakukan perburuan menggunakan elang.”
Ia menambahkan, “Juga sangat menarik bahwa Mesir kuno telah mengerahkan begitu banyak pemikiran dan kontrol atas sifat dan bakat mereka dengan hewan liar yang sangat besar.”
Studi ini menunjukkan, untuk pertama kalinya, bukti kuat bahwa Mesir kuno menjaga burung pemangsa dalam penangkaran, dengan kemungkinan mereka juga menyusun program penangkaran untuk mereka, dan lebih menyukai hewan jantan dibanding betina.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR