Oleh James Verini
Foto oleh Paolo Pellegrin
Nationalgeographic.co.id—Inilah kehidupan ekonomi bawah tanah sekaligus jebakan mematikan. Bagi kebanyakan warga Palestina, terowongan ini menjadi simbol kecerdikan dan impian akan kebebasan.
Sejak bekerja di terowongan penyelundupan di bawah jalur gaza, samir dan kakaknya, yussef, dibayang-bayangi kemungkinan bahwa suatu hari mereka akan mati di situ. Ketika Yussef meninggal, di malam yang dingin pada 2011, ajal tiba seperti yang mereka bayangkan: tertimbun tanah.
Saat itu pukul 9 malam, dan kedua kakak-beradik itu sedang mendapatkan giliran kerja malam untuk memelihara terowongan yang konstruksinya buruk dan membahayakan jiwa. Terowongan ini sama seperti terowongan lain-nya yang jumlahnya ratusan dan membentang antara Gaza dan Semenanjung Sinai, Mesir.
Samir sedang bekerja di dekat jalan masuk yang kedalamannya hampir 30 meter di bawah Rafah, kota paling selatan di Gaza. Sementara, Yussef dan kedua rekan kerjanya, Kareem dan Khamis, berada di dekat pertengahan terowongan. Mereka berupaya memasang tripleks ke dinding untuk mengganjal atap terowongan saat terowongan itu mulai runtuh. Kareem berhasil menarik Khamis agar menyingkir, sementara Yussef melompat ke arah yang berlawanan. Untuk sesaat runtuhan tanah dan bebatuan berhenti, dan ketika melihat teman-temannya selamat, Yussef berteriak kepada mereka, “Alhamdulillah!—Syukur kepada Allah.”
Kemudian, terowongan runtuh lagi, dan Yussef pun lenyap.
Samir mendengar suara terempas dari sistem radio. Dia masuk ke dalam terowongan, awalnya berlari, lalu merangkak saat lubang semakin sempit dan rendah. Dia harus berjuang agar tidak pingsan karena udara dicemari kepulan debu. Suasananya nyaris gelap gulita ketika akhirnya dia menemukan Kareem dan Khamis yang sedang menggali sekuat tenaga dengan tangan mereka. Samir pun ikut menggali. Terowongan mulai runtuh lagi. Sebongkah pilar beton menghantam lengan Kareem. “Kami tidak tahu harus berbuat apa. Kami tidak berdaya,” kata Samir kepada saya.
Setelah tiga jam menggali, mereka menemukan celana panjang olahragabiru. “Kami mencoba menahan Samir agar tidak melihat Yussef, tetapi dia tidak mau memalingkan wajah,” kata Khamis. Sambil menjerit dan menangis, dengan panik Samir menyingkirkan bebatuan yang menimbun kakaknya. “Saya bergerak tanpa sadar,” katanya. Dada Yussef bengkak, kepalanya retak dan memar. Darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Mereka menyeret Yussef ke mulut terowongan di sisi Gaza, mengikat tubuhnya dengan tali pengaman, dan para pekerja di atas terowongan menariknya keluar. Tidak ada tempat untuk Samir di mobil yang melarikan kakaknya ke satu-satunya rumah sakit di Rafah. Jadi dia mengayuh sepedanya kuat-kuat mengikuti mobil itu. “Saya tahu kakak saya sudah meninggal,” katanya.
Saya duduk dengan Samir, 26 tahun, di tempat yang bisa dikatakan kamar jenazah. Kamar itu berupa ruangan berdinding beton yang belum selesai dibangun di lantai dasar blok apartemen kamp pengungsian Jabalia, tempat kakak-beradik itu dibesarkan.
Di luar, di gang berserak sampah, tenda terpal menaungi para pelayat yang datang untuk menyampaikan bela sungkawa selama tiga hari terakhir. Pemandangannya khas Gaza: dinding beton berlubang-lubang akibat muntahan peluru senapan dan pecahan peluru meriam dari serangan Israel dan pertempuran antar-kelompok setempat. Lalu, anak-anak menggali tanah dengan sendok. Generator yang diengkol dengan tangan yang berderam—lagi-lagi pemadaman listrik di Gaza—dengan asap pembuangan dieselnya memenuhi udara.
“Saya takut sekali,” kata Samir, menceritakan suatu hari pada 2008 ketika dia bergabung dengan Yussef untuk bekerja di terowongan. “Saya sebetulnya tidak berminat, tetapi tak punya pilihan lain.” Samir yang kurus, ber-pakaian celana panjang kaus, sweter cokelat, kaus kaki warna gelap, dan sandal yang me-nampakkan jempol kakinya, tampak gugup dan tidak bisa diam.
“Kita bisa mati kapan saja,” katanya. Beberapa terowongan tempat Yussef dan Samir bekerja dipelihara dengan baik—dibangun dengan kokoh, berventilasi—tetapi kebanyakan tidak demikian. Terowongan runtuh sering terjadi, sama seperti ledakan bom, serangan udara, dan kebakaran. “Kami menyebutnya “thariq al syahada au thariq al maut,” kata Samir—“jalan menuju surga atau jalan menjemput maut.”
Source | : | national geographic |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR