Saat menuju ke pedalaman, kami melewati permukiman Israel yang sudah ditinggalkan. Ladang mereka berpasir, rumah gas kaca hancur lebur. Di se-belah selatan Rafah, reruntuhan Bandara Gaza tampak merana bak lukisan bentang alam karya Claude Lorrain. Kini hanya digunakan oleh gembala domba dan suku Badui yang meng-gembalakan unta. Juru bahasa kami, Ayman, bercerita bahwa setelah bandara dibangun, dia sangat bangga akan tempat itu sampai-sampai membawa keluarganya pada akhir pekan untuk berpiknik ke tempat itu.
Sesampainya kami di Rafah, kehidupan bergulir lagi. Gaza, yang merupakan kata kiasan untuk konflik, juga bersinonim dengan kebutuhan pokok dalam kenangan masyarakat Timur Tengah, yaitu perdagangan. Pasukan yang berbaris menuju gurun mengandalkan sumur air dan dinding benteng. Namun, bagi para saudagar selama beberapa milenium, Gaza adalah jalur maritim rute perdagangan rempah-rempah dan hasil pertanian. Sejak 1960-an sampai akhir 1980-an, Gaza dan Israel menikmati hubungan komersial simbiosis.
Para pengrajin dan pekerja Gaza melintasi per batasan setiap pagi untuk bekerja di Tel Aviv dan Yerusalem, sementara warga Israel berbelanja di pasar bebas pajak Gaza City, Khan Younis, dan terutama Rafah. Intifada pertama, yang berlangsung dari 1987 sampai 1993, meng-akhiri sebagian besar kenikmatan itu.
Bukan rahasia lagi, para operator terowongan Gaza itu tebal muka, apalagi sejak Kebangkitan Dunia Arab dimulai. Seberapa tebal muka mereka belum kentara sampai kami keluar dari pasar, dan deretan tenda terpal beratap putih terhampar di hadapan kami. Deretan itu membentang sejauh mata memandang di se-panjang dinding perbatasan ke dua arah. Di bawah setiap tenda ada terowongan. Semua te-rowongan itu berada di jalur Philadelphi, zona patroli yang dibuat oleh militer Israel sebagai bagian dari Perjanjian Damai Mesir-Israel 1979. Semuanya kasat mata bagi menara pengawas dan pos pe nembak jitu Mesir.
Setiap beberapa ratus meter tampak polisi berwajah bosan, yang usianya sedikit di atas usia anak remaja, duduk di luar tenda dan gubuk. Senapan AK-47 bertengger di pangkuannya. Hamas melarang wartawan datang ke sini, jadi kami mengemudi ke ujung koridor dan parkir di balik sebuah bukit tanah. Dengan sem-bunyi-sembunyi, kami berjalan ke dalam tenda pertama yang kami lihat.
Di sana kami bertemu dengan Mahmoud, lelaki berusia 50-an yang pernah bekerja di se buah pertanian di Israel. Dia kehilangan mata pencaharian ketika perbatasan ditutup saat intifada kedua melanda. Jadi dia dan se-kelompok mitranya mengumpulkan tabungan. Pada 2006, mereka mulai menggali. Satu tahun kemudian mereka pun punya terowongan.
Setelah tawar-menawar dengan Ayman, disertai rasa waswas, Mahmoud sepakat untuk menunjukkan cara kerjanya. “Kemarilah,” kata-nya, sambil memandu saya ke lubang sumur. Di atasnya ada tiang-tiang bersilang dilengkapi kerekan, tempat tergantungnya tali pengaman tubuh untuk menaikkan dan menurunkan barang dan pekerja. Tali pengaman itu ditautkan ke segulung kabel logam dengan katrol yang bisa menurunkan pekerja sekitar delapan belas meter ke dalam lubang mulut terowongan. Panjang terowongan Mahmoud sekitar 400 meter, tetapi beberapa terowongan bisa berjarak hingga hampir 800 meter. Mahmoud menerima uang mulai dari ratusan hingga ribuan dolar dari setiap pengiriman, tergantung pada barang yang dibawa masuk. Seperti sejumlah operator terowongan, dia menghasilkan cukup uang untuk menjaga agar terowongannya tetap buka dan menghidupi keluarganya, tetapi tidak lebih dari itu.
Lima hingga dua belas orang bekerja dengan giliran kerja selama dua belas jam, siang dan malam, enam hari seminggu. Mahmoud ber-komunikasi dengan mereka melalui radio dua arah. Para pekerja mendapatkan upah sekitar Rp480.000 per giliran kerja, tetapi terkadang tanpa menerima bayaran selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Di lantai tanah di bawah terpal disediakan beberapa bantal ber-debu tempat mereka beristirahat setelah giliran kerja berakhir.
“Anda mau turun?” tanya Mahmoud. Se-belum bisa menjawab tidak, saya mengiyakan. Tak lama kemudian, pekerjanya dengan penuh semangat mengikat saya dengan tali pe ngaman, lalu menurunkan saya ke sumur yang dingin dan lembap. Saya mencoba membayangkan seperti apa rasanya jika ini pekerjaan saya sehari-hari, pergi kerja dengan turun enam lantai ke dalam perut bumi di ujung seutas tali.
Di dasar lubang, keadaan kacau-balau: bohlam redup berpendar-pendar, percakapan radio membahana, para pekerja bersimbah debu tampak memanggul karung dari papan luncur. Mulut terowongan cukup besar untuk menampung beberapa orang yang membungkuk, tetapi dengan segera menyempit sampai-sampai saya harus merunduk dan pundak saya menggesek dinding.
Setelah kembali ke permukaan, sekelompok polisi tiba-tiba muncul. Mereka melihat mobil kami. “Anda tidak boleh berada di sini,” kata pemimpin mereka. Ayman meminta maaf, dan tak lama kemudian polisi itu menyuguhi saya dengan cerita bahwa kemarin dia menemukan muatan kokain dan ganja di sebuah terowongan. Penyelundupan obat terlarang memang menguntungkan, tetapi sangat berisiko. Mereka menahan operator terowongannya, lalu lubang itu ditutup. Kemudian, dia memerintahkan agar Paolo dan saya pergi, menyuruh kami meminta izin dari pemerintah pusat di Gaza City kalau ingin kembali. “Jangan masuk ke terowongan,” polisi lain memperingatkan. “Anda bisa mati.”
Di dalam terowongan, maut mengepung dari segala arah. Seorang operator menceritakan pengalamannya saat berusaha menyelundupkan masuk seekor singa untuk kebun binatang Gaza. Hewan itu tidak dibius dengan benar, terjaga di dalam terowongan di tengah perjalanan, dan menerkam salah seorang pekerja. Operator lain memperlihatkan video di telepon genggamnya yang menunjukkan tiga pemuda kurus terbaring tak bernyawa di atas dipan beroda. Mereka dulu bekerja di terowongannya. Saya bertanya mengapa tidak ada tanda-tanda luka memar atau patah tulang. “Mereka menghirup gas beracun,” jawabnya. Menurut beberapa orang Palestina, ketika Mesir ditekan oleh Israel untuk menghentikan penyelundupan, tentaranya terkadang meracuni udara terowongan dengan memompakan gas. Mesir menyangkalnya.
Source | : | national geographic |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR