Nationalgeographic.co.id—“Borobudur kita metaforakan sebagai pertama lumbung pengetahuan. Ada begitu banyak pengetahuan yang bisa digali dari relief-reliefnya,” kata Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta. “Kedua,” imbuhnya, “Borobudur juga adalah lumbung budaya untuk seluruh komunitas yang ada di sekitar Borobudur.”
Candi ini telah menjadi lumbung pengetahuan dan budaya, salah satunya soal bermusik. Seni musik menjadi salah satu dimensi yang bisa kita gali dari Borobudur. Sejumlah 44 panil reliefnya telah menautkan pahatan lebih dari 200 alat musik.
Panil-panil itu berada di tingkatan Karmawibhangga, Lalitavistara, Jataka, dan Gandawyuha. Alat-alat musik yang terpahat antara lain cangka, gendang, ghanta, lute, saran, suling, dan simbal.
Ada perkara yang menarik pada alat-alat musik itu. Tampaknya, terdapat kemiripan antara alat-alat musik pada relief Borobudur dengan sejumlah alat musik di Asia Tenggara, baik di penjuru Indonesia maupun banyak negara lain. Penemuan ini mendorong kita pada kesimpulan, Borobudur menunjukkan keragaman dan kekayaan alat musik, sekaligus menyiratkan jejaring budaya yang luas jangkauannya. Borbudur bukanlah keheningan. Sesungguhnya ia sebuah daya, vitalitas, dan sebuah rangsangan.
Sejak lima tahun belakangan, Yayasan Padma Sada Svargantara menginisiasi Sound of Borobudur Movement. Sebuah upaya untuk meneliti, mengeksplorasi, dan menghadirkan kembali alat-alat musik yang tergambar pada relief Borobudur dalam wujud fisik. Tidak hanya itu, gagasan ini juga mencoba membunyikannya kembali dalam bentuk orkestrasi.
Pengampu Utama Yayasan Padma Sada Svargantara sekaligus Programer Sound of Borobudur Purwa Tjaraka mengungkapkan tentang pencarian makna relief-reliefitu bagi kehidupan sekarang.
“Sudah saatnya fakta peradaban tentang Borobudur ini diperkenalkan sebagai aset bangsa yang bukan hanya membanggakan sebagai klaim,” kata Purwa, “tetapi juga menyiratkan dan memberi pelajaran bahwa bangsa ini dulu berkumpul, bersatu, bermain musik bersama, dan dipastikan punya rasa toleransi antarsuku dan antaragama.”
Baca Juga: Candi Agung di Tubir Danau, Di Balik Perdebatan Telaga Borobudur
Pahatan itu telah menginspirasi Konferensi Internasional “Sound of Borobudur: Music over Nations” yang akan digelar 24–25 Juni mendatang. Perhelatan akbar ini didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI yang bekerja sama dengan Yayasan Padma Sada Svargantara dan Kompas Group sebagai mitra media akan menggelar Konferensi Internasional Sound of Borobudur dengan tema “Music Over Nations: Menggali Jejak Persaudaraan Lintas Bangsa Melalui Musik.”
Salah satu tujuan konferensi, menemukan rumusan bersama untuk membangun dan menghidupkan kembali persaudaraan lintas bangsa yang diwariskan leluhur kita melalui musik. Digelar pula pertunjukan musik lintas bangsa yang memainkan instrumen dari relief Borobudur.
“Candi Borobudur adalah sumber pengetahuan, yang salah satunya adalah musik,” kata Rizki Handayani Mustafa, Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Baparekraf. “Musik punya kekuatan untuk menggaungkan nilai-nilai kepada dunia sebagai salah satu diplomasi budaya kita.”
Baca Juga: Bagaimana Cara Peziarah Kuno Menyaksikan Pahatan Kisah Borobudur?
Rizki menambahkan bahwa musik mampu mendorong pariwisata berbasis budaya sebagai upaya melestarikan warisan-warisan budaya yang berkelanjutan.
Konferensi ini menggelar diskusi yang menghadirkan pembicara ahli dari kalangan akademisi maupun praktisi yang menguasai ekonomi kreatif, kepariwisataan, kesenian, dan kebudayaan. Sejumlah perwakilan UMKM di sekitar Borobudur juga akan berpartisipasi.
Widya Nayati dalam jurnalnya bertajuk Mengembangkan Kelompok Pemusik Melalui Relief Tentang Musik di Candi Borobudur mengungkapkan bahwa relief-relief itu menjadi sumber inspirasi. “Mengenalkan relief orang bermusik yang ada pada relief Candi Borobudur, mampu mengubah pandangan masyarakat secara positif terhadap warisan budaya,” tulisnya. “Warisan budaya bukan hanya menjadi objek foto yang dimuat di Instagram dan media sosial, melainkan juga menjadi sumber inspirasi.”
Baca Juga: Catatan Ursula Suzanna tentang Candi Sewu Pascakecamuk Perang Jawa
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR