Zula amat menyambut Spanyol dan menyerahkan dirinya sedangkan Lapu-Lapu amat menentang usulan Magellan dan perintah Humabon. Alhasil meletuslah Pertempuran Mactan,
Menurut Aginid Chronicles (kronik lisan dari Rajah Tupas dari Cebu) Humabon sendiri yang memprovokasi orang-orang Spanyol untuk berperang melawan Lapu-Lapu dan pasukannya. Menurut catatan cendekiawan Italia, Antonio Pigafetta yang berpegian dengan Magellan, selama Pertempuran Mactan, Magellan dan 50 anggota pasukannya melawan Lapu-Lapu dan 1.500 prajuritnya.
Karena Magellan ingin memamerkan baju besi Eropa pasukannya, ia meminta prajurit Humabon untuk tetap berada di kapal. Pigafetta menulis bahwa Lapu-Lapu dan pasukannya mengarahkan tombak bambu yang dikeraskan api dan panah beracun ke kaki musuh mereka dan membunuh Magellan. Sedangkan orang-orang yang selamat bergegas kembali ke kapal dan melarikan diri.
Baca Juga: Melodrama Para Pionir Penjelajah Samudra di Kepulauan Rempah
Profesor sejarah Filipina, Xiao Chua mengatakan kepada ABS-CBN dalam sebuah wawancara bahwa Lapu-Lapu hanya menjabat sebagai pemimpin pasukan. Berlawanan dengan kepercayaan populer, tidak ada bukti yang mendukung bahwa Lapu-Lapu membunuh Magellan di tangannya sendiri.
Setelah pertempuran Mactan, beberapa pendapat mengungkapkan bahwa Lapu-Lapu dan Humabon dapat memulihkan hubungan persahabatan mereka. Sejarah lisan menyatakan bahwa Datu dari Mactan memutuskan untuk kembali ke Kalimantan di mana dia menghabiskan sisa hari-harinya bersama anak-anak dan istrinya.
Untuk menghormati kemenangan Lapu-Lapu, sebuah patung kungingan sepanjang 20 meter didirikan di Pulau Mactan dan kota Opon di Cebu diganti namanya menjadi Kota Lapu-Lapu. Pemerintah Kota Cebu setiap tahun mengadakan acara pada 27 April yang disebut Kadaugan sa Mactan (kadaugan berarti bebas untuk semua) untuk memperingati kemenangan Pertempuran Mactan.
Sementara cerita Lapu-Lapu dikenal luas di kalangan orang Filipina, masih ada ketidakpastian tentang identitasnya dan apa yang sebenarnya terjadi selama Pertempuran Mactan.
Misalnya, tidak ada yang benar-benar tahu seperti apa penampilannya. Sementara sejarawan Cebuano Emilio Pascual mengungkapkan dalam sebuah film dokumenter bahwa kemungkinan Pigafetta tidak benar-benar meninggalkan kapal untuk menyaksikan pertempuran dan mengingat peristiwa yang tepat terjadi.
Meskipun detail sejarah yang tepat tidak jelas, Lapu-Lapu berdiri hingga hari ini sebagai simbol kemerdekaan di Filipina. Bahkan setelah berabad-abad kekerasan dan penjajahan berikutnya, penduduk setempat dengan bangga menghormati orang yang menggalang mereka dalam perjuangan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri.
Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia
Melirik Kasus Codeblu, Dulu Pengulas Makanan Justru Sangat Menjaga Anonimitas, Kenapa?
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR