Nationalgeographic.co.id—Lapu-Lapu memiliki sederet nama pedengan. Sosoknya dikenal juga sebagai Cilapulapu, Si Lapulapu, Salip Pulaka, Cali Pulaco, dan LapuLapu Dimatang. Walaupun sejarawan tidak dapat secara bulat menyetujui nama aslinya, pria itu terukir dalam sejarah sebagai penakluk Ferdinand Magellan.
Pada 1521, Ferdinand Magellan secara tidak sengaja menemukan Pulau Homonhon (sekarang bernama Samar) ketika ia sedang dalam perjalanan ke Kepulauan rempah-rempah, Indonesia. Di sana, ia bisa menjalin kesetiaan dengan penguasa setempat, khususnya Rajah Humabon dari Cebu.
Magellan-lah yang meyakinkan Rajah Humabon dan istrinya untuk dibaptis ke Agama Katolik dan kemudian menawarkan kepada mereka Santo Nino. Ini dikatakan sebagai momen dalam sejarah ketika Agama Katolik diperkenalkan ke Filipina.
Menyadari keramahan hangat Humabon terhadap mereka, Magellan kemudian berusaha untuk memperkenalkan agama Katolik ke pulau-pulau terdekat seperti Mactan. Di sana, hidup dua kepala suku yang bersaing yakni Zula dan Lapu-Lapu.
Zula amat menyambut Spanyol dan menyerahkan dirinya sedangkan Lapu-Lapu amat menentang usulan Magellan dan perintah Humabon. Alhasil meletuslah Pertempuran Mactan,
Menurut Aginid Chronicles (kronik lisan dari Rajah Tupas dari Cebu) Humabon sendiri yang memprovokasi orang-orang Spanyol untuk berperang melawan Lapu-Lapu dan pasukannya. Menurut catatan cendekiawan Italia, Antonio Pigafetta yang berpegian dengan Magellan, selama Pertempuran Mactan, Magellan dan 50 anggota pasukannya melawan Lapu-Lapu dan 1.500 prajuritnya.
Karena Magellan ingin memamerkan baju besi Eropa pasukannya, ia meminta prajurit Humabon untuk tetap berada di kapal. Pigafetta menulis bahwa Lapu-Lapu dan pasukannya mengarahkan tombak bambu yang dikeraskan api dan panah beracun ke kaki musuh mereka dan membunuh Magellan. Sedangkan orang-orang yang selamat bergegas kembali ke kapal dan melarikan diri.
Baca Juga: Melodrama Para Pionir Penjelajah Samudra di Kepulauan Rempah
Profesor sejarah Filipina, Xiao Chua mengatakan kepada ABS-CBN dalam sebuah wawancara bahwa Lapu-Lapu hanya menjabat sebagai pemimpin pasukan. Berlawanan dengan kepercayaan populer, tidak ada bukti yang mendukung bahwa Lapu-Lapu membunuh Magellan di tangannya sendiri.
Setelah pertempuran Mactan, beberapa pendapat mengungkapkan bahwa Lapu-Lapu dan Humabon dapat memulihkan hubungan persahabatan mereka. Sejarah lisan menyatakan bahwa Datu dari Mactan memutuskan untuk kembali ke Kalimantan di mana dia menghabiskan sisa hari-harinya bersama anak-anak dan istrinya.
Untuk menghormati kemenangan Lapu-Lapu, sebuah patung kungingan sepanjang 20 meter didirikan di Pulau Mactan dan kota Opon di Cebu diganti namanya menjadi Kota Lapu-Lapu. Pemerintah Kota Cebu setiap tahun mengadakan acara pada 27 April yang disebut Kadaugan sa Mactan (kadaugan berarti bebas untuk semua) untuk memperingati kemenangan Pertempuran Mactan.
Sementara cerita Lapu-Lapu dikenal luas di kalangan orang Filipina, masih ada ketidakpastian tentang identitasnya dan apa yang sebenarnya terjadi selama Pertempuran Mactan.
Misalnya, tidak ada yang benar-benar tahu seperti apa penampilannya. Sementara sejarawan Cebuano Emilio Pascual mengungkapkan dalam sebuah film dokumenter bahwa kemungkinan Pigafetta tidak benar-benar meninggalkan kapal untuk menyaksikan pertempuran dan mengingat peristiwa yang tepat terjadi.
Meskipun detail sejarah yang tepat tidak jelas, Lapu-Lapu berdiri hingga hari ini sebagai simbol kemerdekaan di Filipina. Bahkan setelah berabad-abad kekerasan dan penjajahan berikutnya, penduduk setempat dengan bangga menghormati orang yang menggalang mereka dalam perjuangan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri.
Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Tradisi Pinang Sirih dan Migrasi Manusia
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR