Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa komposisi oksigen mineral piroksen dari Bali hampir tidak terpengaruh sama sekali selama perjalanan mereka melalui kerak bumi. Komposisi mereka cukup dekat dengan keadaan aslinya, menunjukkan bahwa sedimen minimum telah tertarik ke dalam mantel selama subduksi. Pola yang sama sekali berbeda ditemukan pada mineral dari Jawa.
“Kami dapat melihat bahwa Merapi di Jawa menunjukkan tanda isotop yang sangat berbeda dari gunung berapi di Bali. Ini sebagian karena magma Merapi berinteraksi secara intensif dengan kerak bumi sebelum meletus. Itu sangat penting karena ketika magma bereaksi dengan, misalnya, batu kapur yang ditemukan di Jawa Tengah tepat di bawah gunung berapi, magma menjadi penuh sampai titik meledak dengan karbon dioksida dan air, dan letusannya menjadi lebih eksplosif," tutur Valentin Troll, profesor geologi dari Department of Earth Sciences di Uppsala University yang turut terlibat dalam studi ini.
Baca Juga: Studi Terbaru: Longsoran Anak Krakatau pada 2018 Mampu Mengubur London
"Mungkin itulah mengapa Merapi sangat berbahaya. Ini sebenarnya salah satu gunung berapi paling mematikan di Indonesia: itu menewaskan hampir 2.000 orang dalam 100 tahun terakhir, dan letusan terbaru merenggut 400 nyawa," ungkapnya.
Studi ini merupakan kolaborasi antara para peneliti dari Uppsala University, Swedish Museum of Natural History di Stockholm, University of Cape Town di Afrika Selatan, University of Freiburg di Jerman, dan Vrije Universiteit (VU) Amsterdam di Belanda. Hasil dari studi ini meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana vulkanisme di kepulauan Indonesia bekerja.
"Indonesia berpenduduk padat, dan segala sesuatu yang memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana gunung-gunung berapi ini bekerja sangatlah berharga, dan membantu kita untuk lebih siap ketika gunung-gunung berapi itu meletus," tegas Deegan.
Baca Juga: Studi Terbaru Ungkap Potensi Bahaya Gunung Berapi Terbesar di Dunia
Source | : | Uppsala University |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR