Nationalgeographic.co.id—Cao Cao adalah salah satu kekuatan pada perebutan kekuasaan selama akhir Kekaisaran Han. Ia mencoba menaklukan seluruh kekaisaran dalam Pertempuran Tebing Merah, tetapi gagal. Selama karir politiknya yang panjang, Cao Cao membantu mengalahkan pemberontakan Sorban Kuning dan memperoleh kekuasaan di Wei.
Pada masa yang sulit secara politik dan ekonomi, Cao Cao lahir di Anui pada tahun 155. Memang sejak 135 dan seterusnya ada banyak pembunuhan dan konflik di pengadilan yang berkuasa menurut laman China Highlights. Faksi pengadilan utama adalah para kasim, pejabat pengadilan klan Dinasti Han dan birokrat Konfusianisme.
Namanya dikenal sebagai diktator militer. Sesuatu yang lebih mengerikan sekadar panglima perang. Ambisinya adalah menyatukan negara Tiongkok dengan ekspansi militer. Walaupun gagal, ia tetap berhasil menemukan negara bagian Wei dan memperkenalkan perubahan administratif dan reformasi lahan.
Tujuan kejam Cao Cao untuk merebut kembali kejayaan kekaisaran Han yang hilang dengan manipulasi istana kekiasaran dan intrik politik yang buruk telah menghasilkan reputasi ambigu. Namanya gelap sebagai pejahat epik populer abad ke-14 dari novel Roman Tiga Kerajaan.
Meskipun telah menaklukan lembah Sungai Kuning di Wuhuhan timur laut (207 M) dan menguasai sebagian besar Tiongkok utara guna menguasai semua bekas wilayah Han. Daerah besar di bawah yuridiksi panglima perang saingannya masih tetap ada.
Kekalahanya pada pertempuran Tebing Merah di Lembah Yangtze (208 M) karena ketidaktahuannya dengan geografi lokal. Pemenang hari itu adalah panglima perang muda Sun Quan yang nantinya akan menajdi kaisar dari negara saingan bernama Wu.
Guna mengkosolidasikan tanah yang ia kuasai, Cao Cao memulai serangkaian reformasi administrasi yang dirancang untuk memperkuat sentralisasi pemerintahannya dan memastikan tentakel negara menjangkau jauh dan tak tertandingi.
Salah satu ciri reformasinya ialah mengekang pengeluaran negara yang berlebihan. Untuk alasan ini, ada undang-undang yang disahkan, misalnya melarang penggunaan kain kafan giok yang mahal.
Langkah-langkah lainnya ialah pengenalan sistem peringkat sembilan tingkat untuk pejabat pengadilan (jiupin zhongzheng), sebuah sistem yang berlangsung sampai beberapa dinasti kemudian.
Baca Juga: Jalur Rempah Utara-Selatan: Simpul Filipina, Tiongkok, dan Nusantara
Hal itu bukan berarti ada perubahan signifikan dalam proses rekrutmen, karena Cao Cao melanjutkan tradisi pemilihan menteri dan pejabat negara berdasarkan siapa yang mereka kenal dan kedudukan mereka di komunitas lokal daripada bakat murni menurut laman World History.
Kebijakan lain Cao Cao untuk mengisi kas negara ialah melibatkan pemukiman kembali para petani yang kehilangan tempat tinggal. Mereka dipindahkan ke tanah-tanah terlantar yang direklamasi oleh negara setelah perang menghancurkan daerah tersebut.
Para petani dan pemberontak yang kalah dimukimkan kembali menjadi penyewa yang membayar tempat dan hasil jualnya. Dengan demikian hal itu menjadi sumber pendapatan berguna bagi negara tanpa perantara pemungut pajak lokal.
Cao Cao meninggal pada tahun 220 M dan mendapat gelar anumerta Kaisar Wu dari Wei. Kehidupannya tercatat dalam bukunya sendiri bernama Apologia, yang ditulis pada 210-211 M dan salah satu otobiografi paling awal dari Tiongkok kuno.
Kehidupan Cao Cao juga menjadi subjek dari novel terkenal dari Dinasti Ming (1368-1644 M) bernama Roman Tiga Kerajaan menjadi penjahat Machiavellian dari karya tersebut. Opera-opera juga memerankan Cao Cao sebagai penjahat dan ia sering tampil di serial televisi, film, dan video gim.
Baca Juga: Kisah Teladan Para Tokoh yang Menginspirasi di Balik Festival Peh Cun
Source | : | China Highlights,World History |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR