Di puncak bukit terdapat biara, sebuah tempat yang kelihatan lebih seperti penginapan bagi kaum muda (youth hostel) daripada institusi Gotik abad pertengahan. Hanya ada dua biarawati di tempat ini, keduanya orang India dari Jharkhand. Mereka memakai baju hangat wol dan jaket melapisi baju sari mereka. Dalam sebuah ruang di luar pada sisi kamar utama, berjejer di dalam peti-peti kemas sementara dari kayu lapis, adalah sekitar dua lusin mayat yang tengah dipelajari oleh trio ilmuwan.
Mereka adalah tim yang rasanya mustahil: Arthur Aufderheide, pria Amerika usia 80-an asal Minnesota yang memulai karier sebagai ahli patologi dan hijrah untuk menjadi salah satu ahli mumi terkemuka di dunia; Albert Zink, orang Jerman bertubuh besar yang menjadi direktur Institut untuk Mumi dan Manusia Es di Italia utara; serta seorang Sisilia belia Dario Piombino-Mascali—gampang tergugah dan gelisah, senantiasa cemas, penuh gairah, ambisius, dan kemungkinan cemerlang—yang memiliki baut yang ditindik di alis matanya serta mengenakan jaket bertuliskan “Boxfresh” di bagian punggung, agaknya tanpa bermaksud melucu.
Saya menjumpai dia sedang bersandar di sebuah kotak yang sangat tidak segar dan dengan hati-hati tengah mengangkat jubah pastor abad ke-19. Ia sedang mencari potongan materi organik yang tak menonjol bagi Profesor Zink untuk diuji. “Ooh, apakah ini yang saya pikir benda itu?” Kami semua menyodorkan kepala ke jubah pastor tersebut dan sependapat bahwa barangkali memang benar. Kantong tipis dari kulit kering yang berbubuk muncul di tangannya. Sampel setengah sentimeter itu diberi label dan dikemas dengan cermat. Sang pastor tidak membutuhkan kantong buah zakarnya lagi sekarang.
Dari tubuh-tubuh tak bernyawa, sejumlah besar informasi dapat dikumpulkan sedikit demi sedikit perihal kehidupan sehari-hari dari masa lalu—makanan, penyakit, dan harapan hidup. Mengetahui lebih jauh tentang penyakit seperti sifilis, malaria, kolera, dan tuberkulosis berabad lalu dapat membantu kita belajar mengatasi penyakit-penyakit itu dengan lebih baik pada masa sekarang. Para ilmuwan bergerak secara metodis, memeriksa tinggi dan usia mayat, menguji tulang dan gigi, mencari garis-garis mencuat yang menyela email yang menandakan tahun-tahun kekurangan gizi. Dua mumi menderita asam urat parah. Lima mumi menunjukkan tanda-tanda radang sendi degeneratif. Hampir semua orang ini menderita secara mengerikan mulai dari kondisi gigi—terbentuknya karang gigi, penyusutan gusi, kebusukan gigi, dan abses. Perut diperiksa untuk mengetahui apa yang tersisa atau hilang. Perut salah satu jasad yang diperiksa telah diangkat jaringan lembutnya dan perut jasad lain berisi kain rombeng dan dedaunan, termasuk daun salam, barangkali untuk mengurangi bau atau karena daun-daun itu diharapkan punya khasiat mengawetkan. Mengisi tubuh yang kisut akan membuatnya lebih kelihatan hidup. Kemudian kulit diberi perkamen yang mengilap seperti lilin, pakaian terasa lengket dan lembab, wajah membengkak dengan mulut melebar seperti menguap, mulut menyerahkan pangkal tenggorokan yang mengeriput dan lidah berkerut untuk diteliti. Para ilmuwan menghormati jasad, tidak pernah melupakan kenyataan bahwa mereka dulu adalah manusia—mereka sama seperti kita—tetapi tetap saja para ilmuwan merujuk setiap jasad sebagai “it” untuk menjaga jarak, ketidakberpihakan, ketika para ilmuwan sedang mencabut gigi geraham.
!break!
Beberapa tahun sebelumnya, jasad-jasad ini sengaja dirusak di dalam pusara mereka. Orang-orang masuk secara paksa dan menuangkan cat hijau ke jenazah-jenazah itu. Mengerikan dan merendahkan, cat memercik dan mengalir melintasi wajah, mantel, dan sepatu mereka, membuat mereka kelihatan lebih menyerupai sosok-sosok dalam rumah hantu di taman hiburan. Para biarawati yang menjadi kuncen perhimpunan yang aneh ini menatap dengan rasa kasihan dan tidak senang. Mereka memberitahu saya bahwa jasad seharusnya dimakamkan dengan pantas sehingga dapat kembali menjadi debu. Salah seorang biarawati mengatakan, tidak ada yang spiritual atau yang menggugah semangat untuk dipelajari dari semua jasad yang diawetkan itu.
Jasad-jasad yang terpercik cat dan berisi kain rombeng akan segera kembali ke ceruk-ceruk yang kosong. Saat ini ruang-ruang tersebut tidak diisi apa-apa kecuali ratusan kelabang yang telah mati dan mengering. Sejumlah jasad masih tetap tersimpan dalam peti-peti mati mereka yang rumit. Dengan sangat hati-hati, saya mengangkat tutup berat yang mungkin belum pernah disingkap selama lebih dari satu abad dan melihat dengan seksama ke dalamnya. Udara seakan keluar dalam hembusan napas yang dalam dan bau menyergap tenggorokan saya—bukan bau busuk, tetapi aroma beef tea (teh khas Inggris yang dibuat dari daging sapi) dan aroma menyengat dari kapang kering dan lapisan bubuk yang halus dari debu manusia. Bau ini tidak dapat bakal terlupakan karena begitu dramatis, aroma keheningan dan kesedihan, bau harum dari doa berulang-ulang yang terdengar di kejauhan atau harum dari belas kasih dan penyesalan, bau yang memualkan sekaligus sangat akrab. Sesuatu terasa untuk pertama kali, tetapi juga dengan perasaan aneh pernah mengalami sensasi ini sebelumnya.
Kami tidak akan pernah tahu dengan pasti apa makna mayat-mayat ini bagi perhimpunan-perhimpunan yang membaringkan dan mengenakan pakaian pada mereka. Jasad-jasad tersebut tetap menjadi salah satu dari banyak misteri Sisilia. Kami pergi dengan keprihatinan, pemikiran, dan keraguan kami sendiri ketika dihadapkan dengan panorama kematian yang menggelikan sekaligus tragis. Sulit untuk menguraikan perasaan-perasaan yang muncul karena jasad-jasad, membeku dalam proses fisik dari debu menjadi debu – misteri, air mata, dan harapan, kontradiksi-kontradiksi kehidupan dan kematian, itulah yang abadi dan universal.
Kota Novara yang indah di Sisilia – sekitar 160 kilometer di timur Palermo, memiliki gereja besar dan dihiasi secara sakral. Di depan altar ada sebuah pintu rahasia ke makam, dan dengan menekan tombol tersembunyi, lantai terbuka secara elektronik, tepat seperti dalam film James Bond. Di bawah kumpulan anak tangga terdapat serangkaian ceruk yang berisi jasad-jasad banyak uskup dengan kerusakan bervariasi dan sekarang lazimnya hancur. Duduk di atas kursi batu kecil dengan lubang-lubang bundar pada kursi – saringan mereka – pemandangan dalam ruangan seperti di toilet umum dengan wajah-wajah lurus ke depan. Di atas sebuah rak tinggi ditumpuki tulang-tulang ada sebuah kotak berisi dua kucing, secara alami dimumifikasi, seperti bayangan samar Mesir kuno. Kucing-kucing itu terperangkap dalam makam, mengingatkan bahwa meskipun kucing diyakini memiliki sembilan nyawa, tetapi seperti kita semua, kucing hanya dapat menanti satu akhir yang tak terhindarkan dalam kematian.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR