“Anak saya ada yang jadi guru, bidan, ada pula yang jadi wakil camat. Kalau kami mati, mungkin kios ini tutup selamanya. Sudah banyak kios-kios yang tutup, sebagian dijual dan jadi toko kelontong. Banyak para pemilik kios yang kesusahan meneruskan usahanya. Anak-anak mereka banyak yang tidak mau meneruskan usahanya,” terang Mbah Sutinah.
!break!
Siang itu saya lihat hanya enam kios yang buka. Sisanya tutup—sebagian telah berubah menjadi warung makan, warung bakso, atau toko kelontong. Mbah Warso dan Mbah Sutinah sedang duduk di kursi plastik tanpa sandaran dalam posisi yang rasanya begitu filmis. Mbah Warso duduk menghadap jalan raya di sebelah timur yang penuh dengan seliweran kendaraan, sementara istrinya yang duduk di depan Mbah Warso menatap lurus ke arah deretan kios-kios lainnya di selatan. Mereka melemparkan pandang ke arah yang berbeda dalam sikap yang sepenuhnya diam.
Keduanya seperti kamitua pasar, penaka juru kunci. Pada mereka saya mengunduh kisah jatuh bangunnya Pasar Telo: satu-satunya pasar di Jogja, mungkin juga di Jawa, yang terang-terangan menggunakan kata “telo” (singkong) sebagai namanya.
Mulanya mereka berjualan bagor, semacam karung goni tapi lebih tipis, yang pada masa pendudukan Jepang mulai sering digunakan untuk membuat pakaian. Pada 1950, mereka mulai berjualan singkong di Pasar Ngasem. Pada awal 1957, para penjual singkong di Pasar Ngasem dipindahkan ke lokasi yang terus mereka tempati hingga sekarang. Mulanya, para pedagang membangun lapak-lapak yang bisa dibongkar pasang. Beberapa tahun kemudian, barulah dibangun kios-kios permanen yang hingga kini tak pernah sekali pun direnovasi. Pada masa jayanya, panjang Pasar Telo mencapai antara 50-70 meter. Kini semuanya menyusut hampir tiga-perempatnya. Dari ujung ke ujung, saya perkirakan, panjang Pasar Telo hanya tinggal 15 meter, angka yang teramat sedikit untuk disebut “pasar”.
Penetrasi beras sebagai satu-satunya makanan pokok menjadi salah satu sebabnya. Pasokan singkong ke Jogja hampir seluruhnya diserap bukan untuk sumber makanan pokok seperti tiwul, melainkan untuk diolah sebagai cemilan, kue, jajanan pasar, gorengan, atau kolak.
“Makanya tiap Ramadhan omzet meningkat karena banyak yang membuat kolak. Juga kalau musim hujan. Orang-orang mungkin butuh banyak makanan camilan. Sehari bisa menjual delapan ton kalau lagi ramai kayak gitu. Di hari-hari biasa, paling cuma lima ton,” terang Bu Kawit, pemilik kios lain di Pasar Telo.
!break!
Bu Kawit mengalami problem yang sama: tak ada anaknya yang hingga kini mau meneruskan usaha berjualan singkong yang sudah dirintis sejak 1953. “Harus ada yang mau meneruskan. Entahlah siapa. Sayang kalau tidak diteruskan, soalnya susah payah saya merintisnya bareng suami saya,” katanya lagi.
“Bagaimana ini, Pak?” saya melontarkan pertanyaan ini kepada Pak Slamet, suami Bu Kawit. Pak Slamet hanya tersenyum sembari mengangkat bahu. Di sebelahnya, seorang lelaki yang usianya sebaya dengan Pak Slamet, ikut nimbrung dengan jawaban yang sebenarnya tak pernah saya tanyakan: “Dari Tempel, Sleman, saja sekarang cuma saya yang jadi pemasok, padahal dulu ada sekitar enam orang yang rutin memasok singkong ke sini.”
Nama lelaki itu Ahmin Sudarmadi. Dia salah satu pemasok singkong terbesar di Pasar Telo. Dari dialah saya mendapat sedikit gambaran bagaimana para pemasok singkong ke Pasar Telo juga mulai berkurang, berbanding lurus dengan kian menyusutnya jumlah kios di Pasar Telo. Satu per satu sejawatnya dari Tempel beralih menjadi pengepul atau pemasok salak pondoh.
Dalam sehari, Ahmin bisa mengirim singkong ke Pasar Telo sebanyak dua kali. Sekali kirim sebanyak 1,7 hingga dua ton. Singkong yang dibawanya ia jual ke Pasar Telo seharga 1.000 rupiah per kilo. Sementara para pedagang Pasar Telo menjualnya kembali seharga 1.200-1.300 rupiah per kilo. Jika sehari bisa menjual singkong sebanyak lima ton, orang seperti Bu Kawit atau Mbah Sutinah bisa menangguk keuntungan sampai sejuta rupiah per hari. Ini angka yang mencengangkan.
Saya bisa mengerti jika anak-anak Mbah Sutinah bisa melanjutkan kuliah, punya profesi yang lebih “bergengsi” dan enggan meneruskan usaha berjualan singkong. Ingin saya mengatakan kepada Mbah Sutinah atau Bu Kawit bahwa anak-anaknya seperti kacang lupa kulit. Tapi saya merasa tak pantas mengatakannya. Menjadi Asisten Camat—disebut oleh Mbah Warso sebagai “wakil camat”—pastilah dianggap lebih terhormat daripada menjadi pedagang singkong. Diam-diam saya mencoba memahaminya.
!break!
Singkong datang ke Nusantara jauh lebih belakangan ketimbang padi. Georg Eberhard Rumpf yang lebih dikenal dengan nama Rumphius pada pertengahan abad ke-17 banyak melakukan riset botani di Maluku. Ia melaporkan bahwa di Ambon sudah ditemukan singkong. Sementara di Jawa, laporan datang lebih belakangan lagi. Pada dekade pertama abad-19, baru muncul laporan ihwal ditanamnya dua jenis singkong yang oleh penduduk dinamai “Jenderal” dan “Dangdeur”—nama yang secara fonetik dekat dengan “Generaal” dan “Daendels”. Pada 1828, Franz Junghun, orang Jerman yang sukses membiakkan kina di Nusantara, menemukan singkong jenis Dangdeur di beberapa wilayah Bogor dan Cianjur.
Hingga sejauh itu, singkong tak mengalami pertumbuhan yang mengesankan. Kemungkinan karena varietas singkongnya mengandung rasa pahit, bukan manis, dan kadang mengakibatkan keracunan. John Crawfurd, dalam karya besarnya History of the Indian Archipelago yang terbit pada 1820, juga melaporkan banyak penduduk yang ia temui menyebutkan pahitnya singkong yang mereka tanam dan makan.
Pada 1858, muncul varietas baru dari Paramaribo, Suriname, yang ternyata lebih cocok dengan iklim tropis. Sejak itu, pelbagai varietas singkong banyak didatangkan ke Hindia Belanda. Baik itu dari Kepulauan Antilen Kecil di Karibia dan terutama dari Brasil yang oleh Encyclopedia Britanica maupun Encyclopedia Americana memang dianggap sebagai negeri asal singkong. Hingga 1908, setidaknya sudah ada 22 varietas singkong dari Brasil yang didatangkan ke Hindia Belanda.
Sejak itulah singkong mulai ditanam secara massif di Hindia Belanda. Sebagian di antaranya untuk menjawab kebutuhan singkong dari Prancis yang membutuhkannya sebagai bahan dasar minuman keras kualitas nomor dua. Selanjutnya, pengusaha-pengusaha perkebunan pada era kolonial banyak menggunakan singkong sebagai bahan makanan pokok bagi para kuli kontrak yang mereka pekerjakan.
Kesan bahwa singkong adalah makanan inferior mudah lahir dari situasi macam itu, kendati tentu saja bukan satu-satunya faktor penyebab. Nyatanya, stereotipe singkong sebagai makanan kelas dua nyatanya terus bertahan hingga hari ini, sampai-sampai di Jogja—misalnya—kata “telo” sering digunakan sebagai umpatan atau lontaran kekesalan.
!break!
Darmaningtyas, seorang pengamat sosial dan pendidikan, pernah mengisahkan betapa malunya jika ia diketahui sebagai “anak singkong”. Dikisahkan dalam bukunya yang berjudul Pulung Gantung, Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul, ia selalu memilih angkutan terakhir tiap kali hendak kembali ke kosnya di Jogja setelah pulang kampung dengan membawa tiwul yang disiapkan sebagai bekal oleh orang tuanya. ”Aroma khas tepung gaplek memancing gelak tawa maupun banyolan sinis dari penumpang lain yang sama-sama masih remaja. Suasana dalam perjalanan itu sungguh menggedor-gedor rasa minder kami,” tulisnya.
Gunung Kidul, kampung halaman Darmaningtyas, seperti menjadi antinomi dari tradisi panjang budidaya padi di tlatah Jawa yang sejak dulu dikenal sebagai daerah agraris. Profesor Dennys Lombard pernah menderetkan proyek-proyek pembangunan irigasi yang pernah dilakukan kerajaan-kerajaan Jawa, semenjak era Tarumanegara hingga era Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Jogjakarta, untuk menggenjot produksi padi. Mudah ditebak, Lombard tak menyebutkan satu pun proyek pembangunan irigasi di daerah Gunung Kidul dalam semua faset sejarah tlatah Jawa yang dikajinya.
Kawasan ini terkenal kering dan tandus. Pantas jika singkong menjadi budidaya utama di sini. Data angka-angka yang saya peroleh dari Departemen Pertanian dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jogjakarta, sejak 2002 hingga 2006, produksi singkong di Gunung Kidul tampak terus meningkat—rata-rata pertumbuhannya 8,49 persen. Di sisi lain, produksi padinya, baik dari sawah maupun ladang, tak sampai seperempat jumlah produksi singkong. Itulah yang membuat saya optimis akan menemukan kenyataan yang agak lain dengan yang dikatakan oleh Yu Tum, pendiri sekaligus pemilik toko oleh-oleh berbahan singkong khas Gunung Kidul yang paling terkenal: Toko Yu Tum.
“Kalau di satu rumah masih ada orang tua, biasanya selalu tersedia tiwul. Cuma orang-orang tua saja yang masih memakan tiwul. Anak-anak zaman sekarang sudah banyak yang tidak mau makan tiwul. Di pelosok juga sudah mulai jarang. Paling banter sekali seminggu. Itu pun kalau sedang ingin saja. Coba saja pergi ke daerah selatan di sekitar pantai.”
Saya lantas telusuri daerah-daerah pantai di selatan Gunung Kidul, seperti Nglipar, Girisubo, Tanjung Sari, deretan pantai Wedi Ombo sampai Sadeng. Di sepanjang jalan antara Semanu hingga pantai Wedi Ombo, misalnya, saya amat sering menjumpai gaplek, singkong yang sudah dikupas kulitnya, tengah dijemur di pekarangan, atap rumah, tegalan hingga di pinggir jalan.
Di salah satu sudut jalan di Dukuh Mranggen, Desa Candirejo, saya menemukan pemandangan unik: gaplek dijemur berjejer satu-satu dengan rapi di sepanjang tepian jalan seperti pagar yang rubuh bersamaan. Jejeran gaplek berwarna putih yang dijemur itu berhenti di tikungan jalan semata karena setelah tikungan itu badan jalan menukik turun dengan tajam. Satu jam setelahnya, di Desa Sogo, saya berhenti di depan rumah Pak Diram yang dipenuhi tumpukan singkong yang menggunung setinggi perut orang dewasa. Di tepi kanan dan kiri tumpukan singkong tersebut, berdiri tiang bendera yang diujungnya berkibar sang saka Merah Putih. Saya tahu ini Agustus, bulan di mana Merah Putih biasa dikibarkan di mana-mana. Namun, ini seperti menjadi satir bagi para teknokrat yang masih keukeuh percaya bahwa singkong identik dengan kemiskinan dan beras sinonim dengan tingginya kesejahteraan.
!break!
Bagaimanapun, deretan jemuran gaplek dan angka-angka statistik tadi tak berbanding lurus dengan angka konsumsi tiwul. Orang-orang yang saya temui di desa-desa di sepanjang jalan Semanu hingga Wedi Ombo hampir sama memberi kesaksian: sudah jarang orang yang memakan tiwul. Kebanyakan yang masih rutin memakan tiwul hanyalah orang-orang tua yang sejak kecil sudah akrab dengannya. Wahyu, pemuda yang menjadi staf Pabrik Tiwul Instan di Semanu, bilang banyak anak-anak yang sering merasa mbededek atau eneg jika mengkonsumsi tiwul.
Orang-orang berusia lanjut yang saya temui menyebut dekade 1980-an sebagai titimangsa di mana perubahan pola konsumsi pangan dari tiwul menjadi nasi dimulai dengan massif. Slamet Riyadi, Kepala Dukuh Wareng di Kecamatan Semanu, menyebutkan bahwa perubahan kultur pangan di wilayahnya hampir bersamaan dengan datangnya pasokan bibit padi yang dibagikan secara gratis kepada penduduk di wilayahnya pada awal dekade 1980-an. Ia menyebut padi jenis IR-36 yang pertama kali dibagikan kepada para petani di pedukuhannya.
Jika persediaan beras kurang, terpaksa mereka membelinya. Ini riskan karena angka pendapatan per kapita penduduk Gunung Kidul pada 2006 merupakan yang terendah di Jogjakarta, sekitar 6,43 juta rupiah. Tak mengherankan jika orang-orang tua akhirnya banyak bergantung pada bantuan raskin (beras rakyat miskin) ketimbang tiwul, paling tidak untuk konsumsi anak-anaknya. Sementara mereka sendiri kembali ke pola yang sudah mereka kenal sejak kecil: makan tiwul.
Ya, dari tiwul kembali ke tiwul. Sejak kecil makan tiwul, ketika tua mudah saja makan tiwul. Ini bukan hanya terjadi pada orang-orang tua di Gunung Kidul. Presiden ke-2 Indonesia yang sempat membawa negeri ini mencapai swasembada beras, diam-diam sering pula kembali ke tiwul.
Di awal dasawarsa 1990-an, media massa banyak mengungkap kasus kelaparan dan busung lapar akibat kemarau panjang, terutama di Papua. Soeharto bahkan sempat mewacanakan mengirim tiwul ke Papua. Satu waktu, Soeharto mengumpulkan beberapa pejabat terkait untuk membahas persoalan ini ke kediamanya di Cendana. Para wartawan yang sedang menunggu konferensi pers diminta masuk ke dalam. Seperti dikutip Antara, Soeharto menyambut mereka sembari berkata: "Ayo makan tiwul. Jangan malu-malu".
!break!
Sebenarnya, Soeharto pernah melansir Inpres No. 14 tahun 1974 dan Inpres No. 20 tahun 1979 tentang Diversifikasi Pangan untuk Mengatasi Rawan Pangan yang mengkampanyekan keragaman makanan pokok. Kala itu sempat muncul istilah “beras tekad” yang berbahan dasar singkong. Hanya saja, pemerintah Orde Baru tak pernah menyiapkan cetak biru keragaman pangan. Desain pertanian terfokus untuk mengejar swasembada beras. Pemerintah juga terus memberi jatah beras kepada para pegawai negeri secara pukul rata tanpa melihat tradisi pangan di masing-masing tempat. Saat swasembada beras tercapai pada 1984, kampenye redup begitu saja. “Beras tekad” seperti menjadi satir yang pahit bagi kampanye keragaman pangan yang butuh lebih dari sekadar tekad.
Simaklah angka-angka ini. Pada 1954, pangsa beras di Indonesia hanya 53,5 persen, separuhnya merupakan para pemakan non-beras. Pada 1987, angka itu melonjak menjadi 81,1 persen. Dalam rentang 45 tahun, dari 1954-1999, pangsa singkong yang tadinya sebesar 22,6 persen menyusut menjadi hanya 8,83 persen.
Kembalinya Soeharto menoleh tiwul saat krisis pangan pada awal 1990-an justru memperkokoh status tiwul dan singkong sebagai makanan kelas dua, pangan yang terpaksa digunakan dalam keadaan darurat. Tak aneh jika jarang terdengar masyarakat dengan tradisi panjang pangan non-beras yang mampu bertahan dari penetrasi padi dan beras.
Dari yang sedikit itu, masyarakat Cireundeu di Cimahi Selatan (Bandung) pantas untuk dicatat. Singkong mulai menjadi makanan pokok di Cireundeu sekitar 1918 atas inisiatif Omah Asnamah. Inisiatif Omah makin banyak diikuti warga Cireundeu menyusul kelangkaan beras akibat gagal panen yang terjadi berkali-kali. Studi Dr. Van der Elst juga menyebutkan pada tahun-tahun itu Jawa memang mengalami kemunduran hasil panen padi. Antara 1914 hingga 1922 angka kegagalan panen di Jawa dan Madura mencapai 20 persen. Itu angka yang terbilang tinggi. Pada 1921, anggota Volksraad, Ir. Craemer, sampai perlu menggalang suara di Volksraad untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Sejak itulah warga Cireundeu mulai meninggalkan beras dan sepenuhnya menggunakan singkong sebagai makanan pokok. Makanan pokok dari singkong di Cireundeu tak berbeda jauh dengan tiwul, hanya saja rasanya lebih lembut. Mereka juga secara kreatif menciptakan kreasi pangan lainnya. Selain krupuk, tape, renggining, awug (semacam bolu kukus), mereka membuat nugget tapi berbahan dasar singkong. Rasanya tak beda jauh dengan nugget yang biasa. Kreasi paling baru dari ibu-ibu Cireundeu yang sempat saya cicipi adalah dendeng yang diolah dari kulit singkong. Rasanya seperti dendeng sapi, hanya sedikit lebih keras saat dikunyah.
Orang Cireundeu menyebut makanan pokok mereka sebagai “rasi” atau “beras singkong”, bukan “tiwul”. Dengan menggunakan istilah “rasi”, mereka bukan hanya selamat dari konotasi buruk yang membekap “tiwul”, tapi pada saat yang sama juga menegaskan bahwa beras tidak identik dengan padi. Menyingkat “beras nasi” menjadi “rasi” pun mendekatkan telinga yang mendengarnya dengan kata “nasi”. “Rengginang”, camilan kering dari ketan yang populer di Jawa Barat, juga mereka tiru dengan menggunakan istilah “renggining”, tentu saja camilan renggining ini bukan dari beras ketan, tapi singkong.
!break!
Ini permainan bahasa yang menarik. Studi poskolonial menyebutnya sebagai mimikri: peniruan tapi tak pernah akan persis, mirip tapi tak sama, sebab mimikri memang tak mengejar kesamaan yang presisi dengan objek yang ditiru. Mimikri adalah budaya tanding, semacam siasat perlawanan sehari-hari terhadap budaya dominan (budaya makin beras nasi), di mana para pemakan non-beras dianggap miskin dan terbelakang. Ini berlaku pula pada orang-orang yang memakan sagu di Pulau Siberut yang menyebut makan beras nasi sebagai “makan berak”. Di situ, budaya dominan tidak lagi ditandingi dengan mimikri yang tersamar, tapi dilecehkan secara eksplisit.
Dengan itulah Cireundeu terus bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak mereka tumbuh dengan wajar dan sehat, tak ada bedanya dengan anak-anak yang sehari-hari memakan beras nasi. Tak pernah ada kasus kelaparan, busung lapar, atau mal-nutrisi.
Cireundeu juga tak pernah tersentuh gejolak harga beras yang fluktuatif atau kelangkaan pangan akibat puso. Bagi mereka, ketahanan pangan sinonim dengan kedaulatan pangan. Ya, benar-benar berdaulat, karena mereka tak bergantung pada curah hujan, ganas tidaknya wereng, mumpuni tidaknya pestisida, lancar tidaknya pasokan Bulog, juga tak bergantung pada kinerja para petani di Cianjur atau Vietnam, tapi sepenuhnya dipenuhi tangan dan kaki mereka sendiri.
Cireundeu bukan kampung terasing macam masyarakat Baduy Dalam, misalnya. Mereka tak mengasingkan diri. Televisi, mesin cuci, hingga kendaraan bermotor mudah dijumpai di sana. Saya pernah melihat beberapa pemuda Cireundeu sedang mencari berita tentang kampungnya melalui internet dengan menggunakan fitur GPRS yang disediakan ponsel-ponsel keluaran terbaru. Rasanya begitu menakjubkan menyadari ada masyarakat yang terbuka tapi mampu bertahan tanpa memakan beras. Pedalaman Gunung Kidul atau Yahukimo di ketinggian Papua saja tak kebal dari penetrasi beras.
Semuanya menjadi mungkin di Cireundeu karena di sana ketahanan pangan bukan hanya berbanding lurus dengan kedaulatan pangan, tapi juga sinonim dengan ketahanan adat dan budaya. Masyarakat pemakan singkong di Cireundeu adalah para penghayat varian kepercayaan Sunda Wiwitan, spesifik merujuk pada ajaran Madrais dari Cigugur, Kuningan.
Oleh pemerintah kolonial, Madrais pernah diasingkan ke Papua antara 1901 hingga 1908, 33 tahun lebih dulu sebelum Bung Hatta dan Soetan Sjahrir juga diasingkan ke sana. Ia didakwa menghasut para pengikutnya untuk melawan pemerintah kolonial. Jawa pada abad 19 dan awal abad 20 memang kaya dengan gerakan perlawanan yang dipimpin oleh orang yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual. Dalam nomenklatur historiografi, gerakan perlawanan macam itu sering disebut sebagai gerakan Ratu Adil, messianik atau millenarian. Begawan sejarah Profesor Sartono Kartodirdjo pernah menggolongkan gerakan yang dipimpin Madrais ke dalam kategori itu dalam bukunya yang berjudul Ratu Adil.
Warga Cireundeu percaya bahwa sesepuh mereka mendengar wisik tentang akan tibanya masa di mana jumlah penduduk terus membengkak sementara lahan pertanian akan terus menyusut. Ramalan eskatologis yang tak ada sangkut pautnya dengan teori Malthus itu bertiwikrama menjadi pola pangan yang disusupi keyakinan yang sifatnya religius.
!break!
Menarik membandingkan bagaimana ajaran Sunda Wiwitan, baik yang bersumber dari ajaran Madrais atau bukan, menjadi pilar ketahanan pangan para penghayatnya, seperti masyarakat Cigugur di Kuningan, Ciptagelar di Sukabumi, Kampung Naga di Tasikmalaya atau Baduy Dalam di Banten. Mereka rata-rata punya ketahanan pangan yang baik. Kepercayaan yang mereka anut menciptakan resistensi yang tinggi terhadap penetrasi budidaya padi modern dengan segala macam pengetahuan, teknik, bibit dan pupuknya yang bukan hanya mengubah pola makanan utama, juga mengikis sistem pengetahuan, teknik bertani hingga punahnya varietas padi lokal.
Budidaya padi Orde Baru mengintensifkan penanaman varietas padi hibrida yang satu paket dengan pupuk kimia dan pestisida tertentu yang mau tak mau mesti dibeli serta menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan, tanah dan air dan punahnya beberapa spesies burung atau ular yang penting untuk mengurangi serangan tikus dan ulat. Kala itu, tak pernah terdengar adanya bantuan kepada petani yang menanam varietas padi lokal, apalagi yang menanam singkong.
Bagi masyarakat Cireundeu, perubahan pola makanan utama bukan semata persoalan teknis, tapi satu paket dengan ketahanan adat dan budaya. Nativisme adat dan budaya akan diusung tinggi-tinggi jika hal-hal baru itu terang-terangan berseberangan dengan apa yang disebut Abah Emen (kamitua masyarakat Cireundeu) sebagai “jati diri yang asli”. Pada masyarakat Cireundeu, “jati diri yang asli” itu bukan hanya meliputi kepercayaan yang dianut, tapi juga makanan utama yang mereka telan. Di situ, nativisme atau keaslian dirayakan sepanjang hari, dari tahun ke tahun, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mengenai apa yang terjadi di luar Cirendeu terkait dengan pangan, Asep Wardiman, Ketua Kelompok Tani Cireundeu, merumuskan semua itu dalam kalimat pendek dengan satir yang menohok: “Agama saja diimpor dari luar, kok, apalagi kalau cuma beras!”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR