Di awal dasawarsa 1990-an, media massa banyak mengungkap kasus kelaparan dan busung lapar akibat kemarau panjang, terutama di Papua. Soeharto bahkan sempat mewacanakan mengirim tiwul ke Papua. Satu waktu, Soeharto mengumpulkan beberapa pejabat terkait untuk membahas persoalan ini ke kediamanya di Cendana. Para wartawan yang sedang menunggu konferensi pers diminta masuk ke dalam. Seperti dikutip Antara, Soeharto menyambut mereka sembari berkata: "Ayo makan tiwul. Jangan malu-malu".
!break!
Sebenarnya, Soeharto pernah melansir Inpres No. 14 tahun 1974 dan Inpres No. 20 tahun 1979 tentang Diversifikasi Pangan untuk Mengatasi Rawan Pangan yang mengkampanyekan keragaman makanan pokok. Kala itu sempat muncul istilah “beras tekad” yang berbahan dasar singkong. Hanya saja, pemerintah Orde Baru tak pernah menyiapkan cetak biru keragaman pangan. Desain pertanian terfokus untuk mengejar swasembada beras. Pemerintah juga terus memberi jatah beras kepada para pegawai negeri secara pukul rata tanpa melihat tradisi pangan di masing-masing tempat. Saat swasembada beras tercapai pada 1984, kampenye redup begitu saja. “Beras tekad” seperti menjadi satir yang pahit bagi kampanye keragaman pangan yang butuh lebih dari sekadar tekad.
Simaklah angka-angka ini. Pada 1954, pangsa beras di Indonesia hanya 53,5 persen, separuhnya merupakan para pemakan non-beras. Pada 1987, angka itu melonjak menjadi 81,1 persen. Dalam rentang 45 tahun, dari 1954-1999, pangsa singkong yang tadinya sebesar 22,6 persen menyusut menjadi hanya 8,83 persen.
Kembalinya Soeharto menoleh tiwul saat krisis pangan pada awal 1990-an justru memperkokoh status tiwul dan singkong sebagai makanan kelas dua, pangan yang terpaksa digunakan dalam keadaan darurat. Tak aneh jika jarang terdengar masyarakat dengan tradisi panjang pangan non-beras yang mampu bertahan dari penetrasi padi dan beras.
Dari yang sedikit itu, masyarakat Cireundeu di Cimahi Selatan (Bandung) pantas untuk dicatat. Singkong mulai menjadi makanan pokok di Cireundeu sekitar 1918 atas inisiatif Omah Asnamah. Inisiatif Omah makin banyak diikuti warga Cireundeu menyusul kelangkaan beras akibat gagal panen yang terjadi berkali-kali. Studi Dr. Van der Elst juga menyebutkan pada tahun-tahun itu Jawa memang mengalami kemunduran hasil panen padi. Antara 1914 hingga 1922 angka kegagalan panen di Jawa dan Madura mencapai 20 persen. Itu angka yang terbilang tinggi. Pada 1921, anggota Volksraad, Ir. Craemer, sampai perlu menggalang suara di Volksraad untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah.
Sejak itulah warga Cireundeu mulai meninggalkan beras dan sepenuhnya menggunakan singkong sebagai makanan pokok. Makanan pokok dari singkong di Cireundeu tak berbeda jauh dengan tiwul, hanya saja rasanya lebih lembut. Mereka juga secara kreatif menciptakan kreasi pangan lainnya. Selain krupuk, tape, renggining, awug (semacam bolu kukus), mereka membuat nugget tapi berbahan dasar singkong. Rasanya tak beda jauh dengan nugget yang biasa. Kreasi paling baru dari ibu-ibu Cireundeu yang sempat saya cicipi adalah dendeng yang diolah dari kulit singkong. Rasanya seperti dendeng sapi, hanya sedikit lebih keras saat dikunyah.
Orang Cireundeu menyebut makanan pokok mereka sebagai “rasi” atau “beras singkong”, bukan “tiwul”. Dengan menggunakan istilah “rasi”, mereka bukan hanya selamat dari konotasi buruk yang membekap “tiwul”, tapi pada saat yang sama juga menegaskan bahwa beras tidak identik dengan padi. Menyingkat “beras nasi” menjadi “rasi” pun mendekatkan telinga yang mendengarnya dengan kata “nasi”. “Rengginang”, camilan kering dari ketan yang populer di Jawa Barat, juga mereka tiru dengan menggunakan istilah “renggining”, tentu saja camilan renggining ini bukan dari beras ketan, tapi singkong.
!break!
Ini permainan bahasa yang menarik. Studi poskolonial menyebutnya sebagai mimikri: peniruan tapi tak pernah akan persis, mirip tapi tak sama, sebab mimikri memang tak mengejar kesamaan yang presisi dengan objek yang ditiru. Mimikri adalah budaya tanding, semacam siasat perlawanan sehari-hari terhadap budaya dominan (budaya makin beras nasi), di mana para pemakan non-beras dianggap miskin dan terbelakang. Ini berlaku pula pada orang-orang yang memakan sagu di Pulau Siberut yang menyebut makan beras nasi sebagai “makan berak”. Di situ, budaya dominan tidak lagi ditandingi dengan mimikri yang tersamar, tapi dilecehkan secara eksplisit.
Dengan itulah Cireundeu terus bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak mereka tumbuh dengan wajar dan sehat, tak ada bedanya dengan anak-anak yang sehari-hari memakan beras nasi. Tak pernah ada kasus kelaparan, busung lapar, atau mal-nutrisi.
Cireundeu juga tak pernah tersentuh gejolak harga beras yang fluktuatif atau kelangkaan pangan akibat puso. Bagi mereka, ketahanan pangan sinonim dengan kedaulatan pangan. Ya, benar-benar berdaulat, karena mereka tak bergantung pada curah hujan, ganas tidaknya wereng, mumpuni tidaknya pestisida, lancar tidaknya pasokan Bulog, juga tak bergantung pada kinerja para petani di Cianjur atau Vietnam, tapi sepenuhnya dipenuhi tangan dan kaki mereka sendiri.
Cireundeu bukan kampung terasing macam masyarakat Baduy Dalam, misalnya. Mereka tak mengasingkan diri. Televisi, mesin cuci, hingga kendaraan bermotor mudah dijumpai di sana. Saya pernah melihat beberapa pemuda Cireundeu sedang mencari berita tentang kampungnya melalui internet dengan menggunakan fitur GPRS yang disediakan ponsel-ponsel keluaran terbaru. Rasanya begitu menakjubkan menyadari ada masyarakat yang terbuka tapi mampu bertahan tanpa memakan beras. Pedalaman Gunung Kidul atau Yahukimo di ketinggian Papua saja tak kebal dari penetrasi beras.
Semuanya menjadi mungkin di Cireundeu karena di sana ketahanan pangan bukan hanya berbanding lurus dengan kedaulatan pangan, tapi juga sinonim dengan ketahanan adat dan budaya. Masyarakat pemakan singkong di Cireundeu adalah para penghayat varian kepercayaan Sunda Wiwitan, spesifik merujuk pada ajaran Madrais dari Cigugur, Kuningan.
Oleh pemerintah kolonial, Madrais pernah diasingkan ke Papua antara 1901 hingga 1908, 33 tahun lebih dulu sebelum Bung Hatta dan Soetan Sjahrir juga diasingkan ke sana. Ia didakwa menghasut para pengikutnya untuk melawan pemerintah kolonial. Jawa pada abad 19 dan awal abad 20 memang kaya dengan gerakan perlawanan yang dipimpin oleh orang yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual. Dalam nomenklatur historiografi, gerakan perlawanan macam itu sering disebut sebagai gerakan Ratu Adil, messianik atau millenarian. Begawan sejarah Profesor Sartono Kartodirdjo pernah menggolongkan gerakan yang dipimpin Madrais ke dalam kategori itu dalam bukunya yang berjudul Ratu Adil.
Warga Cireundeu percaya bahwa sesepuh mereka mendengar wisik tentang akan tibanya masa di mana jumlah penduduk terus membengkak sementara lahan pertanian akan terus menyusut. Ramalan eskatologis yang tak ada sangkut pautnya dengan teori Malthus itu bertiwikrama menjadi pola pangan yang disusupi keyakinan yang sifatnya religius.
!break!
Menarik membandingkan bagaimana ajaran Sunda Wiwitan, baik yang bersumber dari ajaran Madrais atau bukan, menjadi pilar ketahanan pangan para penghayatnya, seperti masyarakat Cigugur di Kuningan, Ciptagelar di Sukabumi, Kampung Naga di Tasikmalaya atau Baduy Dalam di Banten. Mereka rata-rata punya ketahanan pangan yang baik. Kepercayaan yang mereka anut menciptakan resistensi yang tinggi terhadap penetrasi budidaya padi modern dengan segala macam pengetahuan, teknik, bibit dan pupuknya yang bukan hanya mengubah pola makanan utama, juga mengikis sistem pengetahuan, teknik bertani hingga punahnya varietas padi lokal.
Budidaya padi Orde Baru mengintensifkan penanaman varietas padi hibrida yang satu paket dengan pupuk kimia dan pestisida tertentu yang mau tak mau mesti dibeli serta menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan, tanah dan air dan punahnya beberapa spesies burung atau ular yang penting untuk mengurangi serangan tikus dan ulat. Kala itu, tak pernah terdengar adanya bantuan kepada petani yang menanam varietas padi lokal, apalagi yang menanam singkong.
Bagi masyarakat Cireundeu, perubahan pola makanan utama bukan semata persoalan teknis, tapi satu paket dengan ketahanan adat dan budaya. Nativisme adat dan budaya akan diusung tinggi-tinggi jika hal-hal baru itu terang-terangan berseberangan dengan apa yang disebut Abah Emen (kamitua masyarakat Cireundeu) sebagai “jati diri yang asli”. Pada masyarakat Cireundeu, “jati diri yang asli” itu bukan hanya meliputi kepercayaan yang dianut, tapi juga makanan utama yang mereka telan. Di situ, nativisme atau keaslian dirayakan sepanjang hari, dari tahun ke tahun, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mengenai apa yang terjadi di luar Cirendeu terkait dengan pangan, Asep Wardiman, Ketua Kelompok Tani Cireundeu, merumuskan semua itu dalam kalimat pendek dengan satir yang menohok: “Agama saja diimpor dari luar, kok, apalagi kalau cuma beras!”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR