Pada 1858, muncul varietas baru dari Paramaribo, Suriname, yang ternyata lebih cocok dengan iklim tropis. Sejak itu, pelbagai varietas singkong banyak didatangkan ke Hindia Belanda. Baik itu dari Kepulauan Antilen Kecil di Karibia dan terutama dari Brasil yang oleh Encyclopedia Britanica maupun Encyclopedia Americana memang dianggap sebagai negeri asal singkong. Hingga 1908, setidaknya sudah ada 22 varietas singkong dari Brasil yang didatangkan ke Hindia Belanda.
Sejak itulah singkong mulai ditanam secara massif di Hindia Belanda. Sebagian di antaranya untuk menjawab kebutuhan singkong dari Prancis yang membutuhkannya sebagai bahan dasar minuman keras kualitas nomor dua. Selanjutnya, pengusaha-pengusaha perkebunan pada era kolonial banyak menggunakan singkong sebagai bahan makanan pokok bagi para kuli kontrak yang mereka pekerjakan.
Kesan bahwa singkong adalah makanan inferior mudah lahir dari situasi macam itu, kendati tentu saja bukan satu-satunya faktor penyebab. Nyatanya, stereotipe singkong sebagai makanan kelas dua nyatanya terus bertahan hingga hari ini, sampai-sampai di Jogja—misalnya—kata “telo” sering digunakan sebagai umpatan atau lontaran kekesalan.
!break!
Darmaningtyas, seorang pengamat sosial dan pendidikan, pernah mengisahkan betapa malunya jika ia diketahui sebagai “anak singkong”. Dikisahkan dalam bukunya yang berjudul Pulung Gantung, Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul, ia selalu memilih angkutan terakhir tiap kali hendak kembali ke kosnya di Jogja setelah pulang kampung dengan membawa tiwul yang disiapkan sebagai bekal oleh orang tuanya. ”Aroma khas tepung gaplek memancing gelak tawa maupun banyolan sinis dari penumpang lain yang sama-sama masih remaja. Suasana dalam perjalanan itu sungguh menggedor-gedor rasa minder kami,” tulisnya.
Gunung Kidul, kampung halaman Darmaningtyas, seperti menjadi antinomi dari tradisi panjang budidaya padi di tlatah Jawa yang sejak dulu dikenal sebagai daerah agraris. Profesor Dennys Lombard pernah menderetkan proyek-proyek pembangunan irigasi yang pernah dilakukan kerajaan-kerajaan Jawa, semenjak era Tarumanegara hingga era Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Jogjakarta, untuk menggenjot produksi padi. Mudah ditebak, Lombard tak menyebutkan satu pun proyek pembangunan irigasi di daerah Gunung Kidul dalam semua faset sejarah tlatah Jawa yang dikajinya.
Kawasan ini terkenal kering dan tandus. Pantas jika singkong menjadi budidaya utama di sini. Data angka-angka yang saya peroleh dari Departemen Pertanian dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jogjakarta, sejak 2002 hingga 2006, produksi singkong di Gunung Kidul tampak terus meningkat—rata-rata pertumbuhannya 8,49 persen. Di sisi lain, produksi padinya, baik dari sawah maupun ladang, tak sampai seperempat jumlah produksi singkong. Itulah yang membuat saya optimis akan menemukan kenyataan yang agak lain dengan yang dikatakan oleh Yu Tum, pendiri sekaligus pemilik toko oleh-oleh berbahan singkong khas Gunung Kidul yang paling terkenal: Toko Yu Tum.
“Kalau di satu rumah masih ada orang tua, biasanya selalu tersedia tiwul. Cuma orang-orang tua saja yang masih memakan tiwul. Anak-anak zaman sekarang sudah banyak yang tidak mau makan tiwul. Di pelosok juga sudah mulai jarang. Paling banter sekali seminggu. Itu pun kalau sedang ingin saja. Coba saja pergi ke daerah selatan di sekitar pantai.”
Saya lantas telusuri daerah-daerah pantai di selatan Gunung Kidul, seperti Nglipar, Girisubo, Tanjung Sari, deretan pantai Wedi Ombo sampai Sadeng. Di sepanjang jalan antara Semanu hingga pantai Wedi Ombo, misalnya, saya amat sering menjumpai gaplek, singkong yang sudah dikupas kulitnya, tengah dijemur di pekarangan, atap rumah, tegalan hingga di pinggir jalan.
Di salah satu sudut jalan di Dukuh Mranggen, Desa Candirejo, saya menemukan pemandangan unik: gaplek dijemur berjejer satu-satu dengan rapi di sepanjang tepian jalan seperti pagar yang rubuh bersamaan. Jejeran gaplek berwarna putih yang dijemur itu berhenti di tikungan jalan semata karena setelah tikungan itu badan jalan menukik turun dengan tajam. Satu jam setelahnya, di Desa Sogo, saya berhenti di depan rumah Pak Diram yang dipenuhi tumpukan singkong yang menggunung setinggi perut orang dewasa. Di tepi kanan dan kiri tumpukan singkong tersebut, berdiri tiang bendera yang diujungnya berkibar sang saka Merah Putih. Saya tahu ini Agustus, bulan di mana Merah Putih biasa dikibarkan di mana-mana. Namun, ini seperti menjadi satir bagi para teknokrat yang masih keukeuh percaya bahwa singkong identik dengan kemiskinan dan beras sinonim dengan tingginya kesejahteraan.
!break!
Bagaimanapun, deretan jemuran gaplek dan angka-angka statistik tadi tak berbanding lurus dengan angka konsumsi tiwul. Orang-orang yang saya temui di desa-desa di sepanjang jalan Semanu hingga Wedi Ombo hampir sama memberi kesaksian: sudah jarang orang yang memakan tiwul. Kebanyakan yang masih rutin memakan tiwul hanyalah orang-orang tua yang sejak kecil sudah akrab dengannya. Wahyu, pemuda yang menjadi staf Pabrik Tiwul Instan di Semanu, bilang banyak anak-anak yang sering merasa mbededek atau eneg jika mengkonsumsi tiwul.
Orang-orang berusia lanjut yang saya temui menyebut dekade 1980-an sebagai titimangsa di mana perubahan pola konsumsi pangan dari tiwul menjadi nasi dimulai dengan massif. Slamet Riyadi, Kepala Dukuh Wareng di Kecamatan Semanu, menyebutkan bahwa perubahan kultur pangan di wilayahnya hampir bersamaan dengan datangnya pasokan bibit padi yang dibagikan secara gratis kepada penduduk di wilayahnya pada awal dekade 1980-an. Ia menyebut padi jenis IR-36 yang pertama kali dibagikan kepada para petani di pedukuhannya.
Jika persediaan beras kurang, terpaksa mereka membelinya. Ini riskan karena angka pendapatan per kapita penduduk Gunung Kidul pada 2006 merupakan yang terendah di Jogjakarta, sekitar 6,43 juta rupiah. Tak mengherankan jika orang-orang tua akhirnya banyak bergantung pada bantuan raskin (beras rakyat miskin) ketimbang tiwul, paling tidak untuk konsumsi anak-anaknya. Sementara mereka sendiri kembali ke pola yang sudah mereka kenal sejak kecil: makan tiwul.
Ya, dari tiwul kembali ke tiwul. Sejak kecil makan tiwul, ketika tua mudah saja makan tiwul. Ini bukan hanya terjadi pada orang-orang tua di Gunung Kidul. Presiden ke-2 Indonesia yang sempat membawa negeri ini mencapai swasembada beras, diam-diam sering pula kembali ke tiwul.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR